Kamis, 24 November 2011

Tiada yang mustahil di hadapan Tuhan




Buah hati pada umumnya adalah karunia yang dinantikan dalam sebuah pernikahan sebagai bentuk keterbukaan kita akan adanya prokreasi, demikian pula halnya dengan kami.

Nama saya Bernadeta Tri Wulan Windri Hastuti dan suami saya Bernardus Aan Yunanto Prasetyo. Kami menikah pada tanggal 8 Juli 2006 di Gereja St. Theresia Jombor, Klaten. Sebelum menikah saya adalah seorang Protestan, sehingga belum terbiasa melibatkan peran Bunda Maria ataupun berdoa Rosario dalam kehidupan saya.

Tujuh bulan setelah pernikahan, kami sempat menjalani hubungan jarak jauh. Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di Solo dan suami bekerja di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kerinduan untuk segera memiliki keluarga yang utuh, akhirnya mendorong saya melepaskan pekerjaan dan tinggal bersama suami di Kendari.

Empat bulan bersama atau satu tahun setelah pernikahan kami pada bulan Juli 2007 belum ada tanda-tanda kehadiran buah hati di tengah-tengah kami. Hal ini mendasari kami untuk berkonsultasi dengan dokter, terlebih saya pernah didiagnosa memiliki kista di indung telur sebelah kiri pada tahun 2005.

Atas rekomendasi beberapa teman, kami mendatangi salah satu dokter spesialis kandungan yang ternama di kota tersebut, dimana kami harus ekstra sabar menunggu antrian yang sangat panjang. Berdasarkan rekomendasi dokter atas keinginan kami untuk segera memiliki momongan, maka suami juga harus melakukan pemeriksaan terhadap kualitas spermanya. Kami melakukan pemeriksaan di laboratorium Prodia, Kendari.

Dua hari sebelum hasil pemeriksaan lab keluar, saya mendapatkan Firman Tuhan yang sepertinya ditujukan kepada saya pada misa Minggu pagi. Firman tersebut diambil dariKejadian 18 : 10 yang berbunyi demikian, ‘Dan FirmanNya : “Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” Dan Sara mendengarkan pada pintu kemah yang di belakang-Nya.’ Saya tidak tahu mengapa tetapi bagi saya Firman tersebut seperti sebuah janji Tuhan kepada saya, bahwa saya akan mempunyai keturunan, dan Firman itu selalu saya simpan dalam benak saya dengan penuh harapan.

Setelah mengambil hasil lab, kami kembali ke dokter untuk menyerahkan hasil pemeriksaan. Karena ditujukan ke dokter maka saya tidak berani membaca hasil secara keseluruhan (ternyata ada dua lembar). Saya hanya sekilas membaca kata “excellent”, sehingga ketika suami dengan raut wajah cemasnya bertanya tentang hasil tes tersebut, dengan ringan hati saya menjawab, “Bagus, tenang saja.”

Akhirnya giliran kamipun tiba. Tanpa rasa ragu saya serahkan hasil pemeriksaan suami. Tidak sampai satu menit berlalu tanpa basa-basi dokter tersebut mengatakan, “Kalau begini ya suamimu tidak bisa membuatmu hamil sebab ia tidak memiliki sperma.” Mendengar hal tersebut rasanya saya seperti tersengat ribuan lebah, panas hingga ingin membuat mata saya berair, tidak terbayang bagaimana hancurnya perasaan suami saya saat itu. Terlebih lagi kami harus menanggung tatapan -yang kami tidak tahu pasti artinya- dari dua pasien dan suster yang bersama-sama dengan kami di ruangan tersebut. Yang pasti rasanya kami ingin segera menghilang dari hadapan mereka.

Dokter kemudian membuatkan kami surat rujukan ke dokter spesialis bedah yang juga praktek di tempat yang sama, dan syukur pada Allah kami dapat diusahakan bertemu dengan dokter tersebut malam itu juga, setelah beliau selesai melakukan operasi di sebuah rumah sakit swasta yang dipimpinnya.

Dari pemeriksaan awal, dokter mendiagnosa suami saya menderita varicocele (pembesaran secara abnormal pada pembuluh darah vena di testis), yang menyebabkan suami saya mengalami Azoosperma (keadaan dimana sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ditemukan sel sperma). Dokter mengatakan masih ada kemungkinan positif apabila dilakukan pembedahan. Bertemu dengan dokter yang seiman, berkonsultasi dan mendapatkan penguatan, memberikan kami harapan. Setidaknya malam itu perasaan kami sedikit mendapat penghiburan setelah rasa shock yang baru saja kami alami. Meskipun solusi yang diberikan juga bukan hal yang mudah untuk kami jalani, setidaknya masih ada secercah pengharapan.

Sepanjang perjalanan pulang kami bergelut dan berusaha menahan perasaan kami masing-masing. Perasaan saya sangat hampa malam itu. Empat bulan di tempat baru, saya belum banyak memiliki relasi dan tidak ada aktivitas pekerjaan, jujur hal tersebut membuat saya stress. Hanya harapan untuk segera menimang buah hati yang menguatkan saya. Tetapi keinginan itu pun rasanya melayang menjauh dari kehidupan kami. Sesampainya di rumah, kami berdua menumpahkan perasaan yang berusaha kami tahan dan malam itu kami menangis untuk mengurangi beban yang terasa berat buat kami.

Atas seijin suami, saya mensharingkan masalah tersebut dengan kakak tertua saya. Pesan yang saya ingat dari kakak saya adalah, ”Kamu harus tegar dan bisa terus menguatkan suamimu”, dan kakak saya berjanji untuk mencarikan dokter terbaik untuk konsultasi saat kami pulang ke Solo.

Hari demi hari kami coba jalani sewajar mungkin, terlebih kami tahu masih ada harapan secara medis bagi kami. Di balik itu semua Tuhan memberikan berkat yang lain bagi kami. Bulan Agustus saya bersama seorang sahabat baru saya bernama Selfi membuka Biro Psikologi. Selain itu saya mendapat kesempatan untuk membawakan rubrik konsultasi di sebuah radio swasta terbesar di kota Kendari dan kesempatan mengajar di sebuah akademi kebidanan. Berkat beruntun tersebut sangat saya syukuri, terlebih dua bulan kemudian saya juga diterima di sebuah perusahaan swasta untuk posisi HRD. Kesibukan yang Tuhan anugerahkan tersebut membuat saya tidak terlarut dalam masalah yang kami hadapi.

Pada waktu itu saya juga sempat diperkenalkan Selfi dengan Frater Banin Cornelis. Entah mengapa pada pertemuan pertama tersebut ada dorongan yang membuat saya ingin membagikan beban yang saya alami. Saya mendapat penguatan, saat Frater bersharing pernah membantu dalam doanya, untuk pasangan yang juga belum memiliki keturunan, dan karena kemurahan Tuhan merekapun dikaruniai buah hati. Saya tahu sejak saat itu Frater Cornel (panggilan akrab kami kepadanya) akan selalu membawa kami dalam doanya.

Bulan November 2007 kami berencana pulang ke Solo. Kakak saya berpesan agar kami mencari surat rujukan atau surat keterangan dari dokter yang memeriksa kondisi awal suami saya. Sebenarnya hal ini bukan hal yang mudah untuk kami lakukan, karena dokter yang memeriksa suami saya sudah menawarkan untuk menangani kondisi suami saya. Kami khawatir bila kami terkesan tidak percaya terhadap kemampuan beliau.

Akhirnya saya menghubungi ponsel dokter tersebut dan mengutarakan niat kami. Di luar dugaan kami ternyata beliau bersedia ditemui keesokan paginya sebelum beliau melakukan operasi. Seperti pasien yang lain kami mendaftar dan menunggu giliran karena kebetulan dokter juga belum datang. Akhirnya kami bisa bertemu dengan dokter yang dimaksud. Di sela kesibukan, beliau masih bersedia menemui kami dan memberikan surat rujukan yang kami butuhkan. Sembari mengantar kami keluar ruangannya, beliau berpesan pada suster yang mendampingi kami agar kami tidak dipungut biaya apapun. Bukan nilai rupiah yang kami lihat namun kemurahan Tuhan yang membesarkan hati kami.

Bulan November 2007 kami pulang ke Solo. Pada waktu itu menjelang libur Lebaran. Kami langsung ke Rumah Sakit Dr. Oen, Solo, dan bertemu dengan dokter andrologi. Suami saya menjalani serangkaian pemeriksaan dari awal, analisis sperma di Lab Prodia Solo, serta menjalani rontgen di RS. Dr. Oen. Dari hasil analisis sperma, tetap dinyatakan suami mengalami Azoosperma dan dari hasil rontgen terlihat adanya varicocele dan spermatocele dextra. Setelah berkonsultasi kembali dengan dokter yang bersangkutan, dokter malah menyarankan kami adopsi saja kalau ingin mempunyai anak. Jawaban yang sungguh menyesakkan meskipun dikatakan dengan lebih halus.

Beberapa bulan yang lalu kami masih berharap ada peluang untuk menimang bayi, tapi kali ini rasanya semua harapan itu pupus sudah. Saya selalu sedih kalau mengingat wajah ayah saya, saya cemas kalau beliau sedih memikirkan kondisi kami. Tidak terasa air mata saya menetes saat kakak kedua saya menanyakan kondisi kami dan saya menjawab “Aku tidak akan punya anak.” Dan saya tahu dia berusaha menguatkan saya dengan kata-kata penghiburannya.



Rasanya kami ingin segera pulang ke Kendari saat itu, rasanya malas sekali datang ke pertemuan keluarga dan bertemu dengan kerabat yang sudah pasti akan menanyakan pertanyaan klise tentang anak. Setelah selesai masa liburan, kami kembali ke Kendari menyibukkan diri dengan segala rutinitas.

Belajar menerima kondisi keluarga minus anak dan mencoba melihat dari kacamata positif adalah pergumulan cukup berat yang kami lalui dengan jatuh bangun. Bilamana salah satu dari kami jatuh, maka yang lain akan menguatkan. Tidak jarang kami menangis bersama, namun kami akhiri dengan obrolan yang saling menguatkan tentang rancangan Tuhan dalam hidup kami. Rasanya seperti pemazmur yang bergumul dalam kesusahan, jiwa kami berseru kepada Tuhan, “Kasihanilah aku Tuhan, sebab aku merana; sembuhkanlah aku, Tuhan, sebab tulang-tulangku gemetar, dan jiwakupun sangat terkejut; tetapi Engkau Tuhan, berapa lama lagi? (Mazmur 6 : 3-4). Namun sekalipun sedih, kami memilih untuk tetap percaya kepada belas kasih dan penyelenggaraan-Nya, kami tetap menaruh harapan di dalam doa-doa kami, karena kami tahu Tuhan tidak pernah meninggalkan kami. Ia adalah setia dan pemurah. Karena Allah telah berfirman, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau (Ibrani 13 : 5b).

Tidak ada yang mengetahui kondisi kami, selain keluarga tentunya. Syukur kepada Tuhan, kami memiliki rasa kasih yang besar di antara kami, yang membuat kami tetap kompak dan mesra. Mungkin itu juga disebabkan oleh perasaan saling memiliki yang cukup kuat di antara kami, dan kebesaran kasih Allah Bapa yang selalu memelihara kami.

Bulan Mei 2009 dengan kehendak Tuhan, suami saya mendapat tawaran untuk pindah lokasi kerja di Kediri, Jawa Timur. Kami pun pulang ke Jawa. Untuk sementara sambil menunggu suami menemukan tempat tinggal, saya tinggal di Klaten dan menikmati liburan di Klaten, Jawa Tengah, bersama orang tua atau terkadang tinggal dengan mertua. Pada pertengahan bulan Juni 2009 saya menyusul suami. Sebelum rumah yang disediakan kantor siap, selama 1,5 bulan kami tinggal di kos keluarga.

Suatu hari, seingat saya hari itu hari Sabtu, suami saya pulang lebih awal. Sehabis makan siang, seperti biasa kami bercanda dan ngobrol di tempat tidur. Saya terkejut karena tiba-tiba suami saya menangis. Sempat saya kira dia sedang bercanda, tapi ternyata dia sungguh-sungguh menangis. Rasanya saya tidak pernah melihat dia sesedih itu. Ketika agak reda saya bertanya apa yang membuat dia begitu sedih. Suami saya kemudian bercerita bahwa dua sahabatnya mengirimkan MMS foto anak-anak mereka dalam waktu yang hampir bersamaan dan MMS tersebut dikirim oleh dua temannya itu dengan tidak sengaja. Hal itu sangat membuat dia terluka mengingat bahwa kami tidak dapat memiliki momongan.

Ibu Subandi, induk semang kami sangat baik dan perhatian. Pernah dia sampaikan bahwa, ”Jangan dulu mengadopsi anak, karena nanti mbak Wulan juga akan diberikan anak sendiri,“ demikian kata beliau saat saya sampaikan rencana kami. Pernah ada kejadian ketika saya sedang persiapkan kado untuk kelahiran anak dari teman kami di Kendari, cucu ibu kos berkata, “Kenapa pilih-pilih kado, Tante Wulan mau punya ade ya?” Saya menjawab, ”Iya, makanya didoakan ya.” Wah, keponakan ibu kos yang bernama Taura tersebut senang sekali. Dia mengikuti saya ke kamar dan berdoa keras-keras di atas tempat tidur saya,” Ya Allah, lindungilah Tante Wulan dan ade bayi di perutnya, semoga sehat.” Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Sewaktu hal tersebut saya ceritakan kepada suami saya, dia mengatakan, ”Kau ini tega sekali membohongi anak kecil.”

Tanggal 8 Juli 2009 adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke-tiga. Kami lalui dengan biasa-biasa saja. Hanya pada tanggal 12 Juli saya meminta untuk berziarah ke Gua Maria Poh Sarang. Kami berangkat jam tujuh pagi pada hari Minggu itu dalam cuaca yang cerah. Kami sampai di Gua Maria Poh Sarang jam 7.30 dan kami lihat beberapa umat telah berada di sana. Tanpa menunggu lama, kami telah berdiri di depan gua. Secara mengejutkan pada saat kami tengah berdoa, tiba-tiba terjadi gerimis. Seingat saya ada juga beberapa orang yang bersama-sama dengan kami yang kemudian mencari tempat berteduh. Namun saat itu kami memilih untuk tetap tinggal dan menganggap hujan tersebut adalah berkat dari Tuhan. Tepat selesai berdoa, gerimispun reda dan peristiwa ini benar adanya. Kamipun melanjutkan untuk berdoa Rosario di salah satu bangunan Rosario pada peristiwa gembira. Jika Anda pergi ke Gua Maria Poh Sarang, di sana ada 3 bangunan Rosario yang terdiri dari bangunan untuk peristiwa gembira, bangunan untuk peristiwa sedih, dan bangunan untuk peristiwa mulia. Di tiap bangunan terdapat gambar-gambar indah dari lima peristiwa perenungan doa Rosario.

Pada waktu yang bersamaan di hari itu ternyata ada acara Doa Novena kepada Bunda Maria dari Lourdes dan Misa Kudus. Dengan hati yang ragu-ragu akhirnya kami bergabung. Di tengah misa tersebut ada bagian dimana kita dapat menuliskan kerinduan akan permohonan maupun beban-beban kita di secarik kertas untuk didoakan. Pada saat itu kami tidak membawa kertas, namun beruntung sepasang suami isteri di samping saya memberikan kertas kepada kami. Kami menuliskan permohonan kami yaitu memohon untuk diberikan kekuatan dan iman untuk menerima semua kondisi bilamana kami tidak dianugerahi momongan, dan kerinduan untuk memperoleh kesembuhan agar kami diberikan kesempatan untuk memiliki momongan.

Seusai kami menuliskan permohonan, ternyata sudah ada orang yang berdiri di depan saya, menawarkan untuk mengantarkan kertas doa saya ke altar. Hal ini kami rasakan sebagai bentuk pertolongan dari Tuhan karena ini merupakan pengalaman pertama kami dan Tuhan memberikan banyak kemudahan lewat orang-orang di sekitar kami…..Allelluia, terpujilah Tuhan.

Dua minggu sesudahnya, atau tanggal 30 Juli 2009, saya seperti mendapat dorongan untuk melakukan doa puasa selama 7 hari setelah tanpa sengaja saya menemukan buku saku doa Rosario Pembebasan Yesus Kristus yang dibeli suami saya sewaktu di Kendari.

Secara manusiawi saya terkadang masih mencoba bersandar pada kemungkinan secara medis dan kekuatan manusia (misalkan lewat program bayi tabung). Saya mengikuti milis bayi tabung sehingga saya sering mendapatkan berita perkembangan terbaru dalam dunia kedokteran mengenai bayi tabung. Saya masih ingat waktu itu saya mengecek email terakhir tentang bayi tabung pada tanggal 5 Agustus 2009. Namun demikian saya menyadari kemungkinan itu menjadi harapan yang langka dengan penghasilan sebagai karyawan seperti kami.

Suatu hari di awal bulan Agustus ibu kos saya berkata, “Mbak Wulan apa hamil ya, kok kayaknya berbeda.” Namun saya bilang tidak, karena tgl 14 Juli saya baru saja menstruasi. Beberapa hari berikutnya, pembantu ibu kos saya mengatakan, ”Mbak Wulan kemarin sayarasani (dijadikan bahan perbincangan) dengan ibu, kok kayaknya aras-arasen (kurang sehat), apa sudah isi?” Saya hanya tertawa sambil bilang, “Amin…”

Pada tanggal 4 Agustus 2009, sahabat saya Monica di Jakarta memberitahu bahwa saat itu dia tengah hamil satu bulan dan dia menyampaikan akan membantu dalam doa agar kami bisa hamil bersama-sama.

Akhirnya rumah dinas kami siap dan pada tanggal 8 Agustus kami pun pindah di rumah yang disediakan kantor. Sebelumnya saya meminta seekor anak anjing yang bisa saya jadikan teman di rumah selama suami bekerja. Anak anjing itu saya bawa kemanapun saya pergi dengan naik motor dan saya masukkan ke dalam tas. Dalam hati saya sempat tertawa sendiri, karena dimana-mana orang mengajak anaknya, sedangkan saya mengajak anjing saya.

Pada tanggal 13 Agustus 2009 saya mendapat undangan interview tahap terakhir dari perusahaan yang saya lamar. Interview tersebut diadakan dengan pemilik dan konsultan perusahaan yang saya lamar. Dalam sesi wawancara, konsultan tersebut bertanya pada saya, “Apa hal yang mustahil Anda peroleh dalam hidup Anda?” dan saya menjawab, “Memiliki momongan, namun saya percaya jika Tuhan berkehendak, maka tidak ada yang mustahil dihadapan-Nya.” Akhirnya saya diterima bekerja dan sesuai kesepakatan, saya akan mulai masuk bekerja pada tanggal 1 September 2009. Sebelumnya saya akan menandatangani kontrak bekerja pada tanggal 19 Agustus 2009.

Saya terbangun jam tiga dini hari pada tanggal 14 Agustus 2009, dan saat itu sempat terlintas dalam angan saya, yaitu seandainya saya hamil, maka saya akan memberikan kesaksian dengan memasang iklan syukur di tujuh media cetak. Perasaan tersebut muncul secara tiba-tiba, mungkin karena menstruasi saya bulan itu tidak terlalu lancar dan tidak biasanya mundur sampai dua hari dan hanya flek-flek saja, atau mungkin dipengaruhi banyaknya pekerjaan rumah.

Sesuai rencana, tanggal 15 Agustus 2009 kami pulang ke Klaten dengan naik kendaraan roda doa. Selain untuk menghabiskan libur tanggal 17 Agustus, kepulangan itu sekalian untuk mengabarkan bahwa saya telah diterima bekerja. Suami juga sekalian ingin menghapalkan jalan jalur Kediri – Klaten. Sebelum berangkat saya sempat bertanya kepada pemilik pet shop di mana saya menitipkan anjing saya, “Apakah aman kalau orang hamil merawat anjing?” Pemilik toko tersebut menyampaikan hal tersebut aman-aman saja karena resiko virus tokso lebih banyak terdapat pada kucing. Sore itu kami langsung berangkat dengan rute memutar karena sekalian hendak melihat lokasi tempat saya bekerja nantinya. Kami berangkat pukul empat sore dan sampai Klaten pukul sebelas malam.

Capek, pastilah, plus kena marah orangtua dan kakak yang mengetahui kami pulang dengan naik kendaraan roda dua. Paginya kami berziarah ke makam ibu saya. Saya merasa badan saya tidak enak, selain karena kecapean juga sebenarnya saya sudah jadwalnya datang bulan tanggal 12 Agustus kemarin, tetapi sampai dengan tanggal 16 saya hanya mengalami flek-flek saja. Sore harinya kami tidur di tempat mertua saya. Dalam perjalanan ke rumah mertua, saya dan suami mampir ke apotik untuk membeli tes pendeteksi kehamilan. Sesuatu yang sebelumnya suami saya tidak pernah mengijinkan untuk saya lakukan (karena mungkin dia takut kecewa). Jauh di lubuk hati, rupanya kami menyadari bahwa harapan yang telah kami sampaikan kepada Allah Bapa dengan perantaraan Tuhan Yesus dan Bunda Maria dalam penyerahan diri yang penuh, telah menguatkan hati kami untuk tidak lagi merasakan takut untuk kecewa.

Malamnya, saya mencoba tes urin saya sendirian dan …..hasilnya di luar dugaan, saya HAMIL……..dengan perasaan tidak percaya dan kaget saya memberitahu suami yang juga merasakan hal yang sama. Dalam kebingungan dan kebahagiaan, kami kembali membeli tes pendeteksi kehamilan. Kemudian kami memberitahu ibu mertua saya sambil mensharingkan doa kami. Belum habis rasa kebahagiaan kami, tiba- tiba saya rasakan ada darah yg keluar dan seketika kebahagiaan kami berubah menjadi kecemasan. Kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat dengan harapan yang telah hilang. Saya ingat saat pergi tidur, suami saya mencium kening saya dan bergumam, “Kita akan berusaha lagi.”

Paginya tanpa sepengetahuan suami, saya mencoba mengetes kembali urin saya dengan testpack yang kami beli semalam. Dan hasilnya tetap positif. Puji Tuhan, terimakasih Tuhan…..lalu dengan hati- hati saya memberitahu suami saya. Kamipun kemudian bertanya kepada teman kami yang juga seorang dokter, yang mengetahui kondisi kami sejak awal. Dia sampaikan bahwa kehamilan palsu atau kehamilan anggur juga menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang benar-benar hamil dan juga terdeteksi dengan test pack seperti orang hamil pula. Kamipun sedikit cemas dengan informasi yang kami terima, maka pagi itu kami putuskan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan.

Dengan harap-harap cemas, kami menanti diagnosa dari dokter, dan kami merasa sungguh sangat lega dan bahagia tidak terkira karena dari hasil USG, saya benar-benar dinyatakan hamil dan janin saya dalam keadaan sehat. Hanya saja, saya harus banyak beristirahat dan diberikan obat penguat….Puji Tuhan Raja Semesta Alam. Sungguh, harapan kami di dalam Tuhan tidak sia-sia. Tuhan sungguh berbelaskasih dan memperhatikan kerinduan hati kami melalui doa-doa yang kami panjatkan dengan segenap kerendahan hati dan penyerahan.

Akhirnya diputuskan saya tetap tinggal di Klaten hingga kondisi saya membaik, sedangkan suami kembali ke Kediri. Dua hari kemudian saya bertemu Monica yang pada waktu itu juga sedang liburan di Solo. Mungkin karena kelelahan, sore itu saya mengeluarkan darah segar. Karena khawatir akhirnya saya kembali dibawa ke rumah sakit dan menjalani opname selama lima hari. Baru satu hari di rumah, saya mengeluarkan flek-flek lagi. Akhirnya saya putuskan berganti dokter di Solo. Setelah menerima masukan dari dokter baru, saya lebih bisa bersikap positif terhadap kehamilan saya dan hal tersebut adalah yang seharusnya saya lakukan sejak awal kehamilan.

Tiga hari kemudian saya memilih untuk kembali ke Kediri. Saya berpikir bahwa dekat dengan suami akan lebih menguatkan kondisi saya. Saya menjalani bed rest selama hampir dua bulan. Ketika kehamilan memasuki usia empat bulan, kista saya semakin membesar hingga berukuran 7,5 cm. Saat itu dokter tempat kami memeriksakan diri mengatakan, untuk menghindari pendarahan, kista perlu dikeluarkan ketika bayi menginjak usia lima atau enam bulan, dengan resiko abortus. Saya berpikir bagaimana mungkin saya akan melakukan itu, sehingga akhirnya kami mencari dokter kandungan yang lain.

Saat usia kandungan memasuki usia tujuh bulan, saya dinyatakan mengalami plasenta previapenuh, tetapi masih dalam tahap evaluasi.

Kehamilan menginjak usia delapan bulan ketika tiba-tiba saya terbangun dari istirahat siang dan merasa ingin buang air kecil. Saat saya kembali dan duduk, saya merasa ada air yang terus keluar. Saat saya berdiri saya rasakan air keluar semakin banyak tanpa bisa saya tahan. Akhirnya saya kembali ke ranjang dan menelpon suami (saat itu saya di rumah sendirian). Suami saya segera membawa saya ke rumah sakit bersalin. Dokter menyuruh saya untuk opname. Sayapun opname sehari semalam untuk beristirahat dan untuk dievaluasi.

Akhirnya setelah melewati masa kehamilan dengan perlindungan Tuhan dan atas kehendakNya, pada tanggal 20 April 2010, putri kami lahir dengan selamat melalui operasi caesar. Puteri kami diberi nama oleh ayahnya dengan nama “Valeria Adonia Eklesiana Prasetyo”. Saya bertanya pada suami saya apakah makna nama yang ia buat. Suami saya menjawab, makna nama itu adalah “Gereja Kristus yang cantik dan kuat”………PUJI TUHAN. Bersama nabi Yesaya seakan hati kami berseru, “Ya Tuhan, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur bagi nama-Mu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan rancangan-Mu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu” (Yesaya 25 : 1)

Saat saya menyelesaikan kesaksian ini, puteri kami yang kami panggil dengan nama Kesia sudah berusia 9 bulan dan puji Tuhan, ia dibaptis pada tanggal 10 Oktober 2010 dengan nama baptis “Valeria” yang berarti ‘kuat.’ Dia tumbuh sebagai anak yang lincah, murah senyum, dan cerdas. Sungguh, ia adalah anugerah terindah dalam hidup kami…..Terpujilah Kristus.

Melihat kembali ke belakang, sungguh hanya rasa syukur yang meluap dan perasaan kagum mendalam yang kami rasakan terhadap kemurahan-Nya. Hal itu membuat kami sadar bahwa kebesaran Tuhan tidak dapat dibatasi oleh kemampuan manusia, dan itu nyata sebagai suatu kesaksian, dengan hadirnya puteri kami, Valeria Adonia Eklesiana Prasetyo. Hingga salah satu sahabat kami yang berprofesi sebagai dokter menyebut anak kami “miracle baby” dan Frater Cornel yang mengetahui pergumulan kami sejak awal menyebutnya, “anugerah dan buah dari derita, kesabaran, dan kepasrahan kepada Allah.”

Terlantun Mazmur yang indah yang dibisikkan oleh suami saya dengan nyanyian ketika kelahiran puteri kami, ”Ya Tuhan….semoga putera-putera kami tumbuh kuat seperti tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya dan putri-putri kami menjadi seperti batu pualam yang menjadi tiang-tiang penjuru yang dipahat untuk bangunan istana.” (Mazmur 144 : 12).

Dan inilah ucapan syukur kami yang tercetak di tujuh media cetak :

“Syukur kepada Allah atas kehadiran buah hati kami melalui Doa Rosario Pembebasan Yesus Kristus dan Doa Novena Bunda Maria dari Lourdes. Kami yang terberkati – Aan & Wulan.”

Juga inilah doa yang mengantar kepada Yesus Kristus atas permohonan kami untuk mendapatkan keturunan bersama dengan bantuan doa Bunda Maria :

“Jika Yesus membebaskan kami, kami akan sungguh-sungguh bebas. Yesus kasihanilah kami, Yesus sembuhkanlah kami, Yesus selamatkanlah kami, Yesus bebaskanlah kami……”

“Salam ya Ratu, Bunda yang berbelas kasih, hidup, hiburan, dan harapan kami. Turunan hawa merana berkeluh kesah, yang kini memohon seraya meratap di dalam lembah derita.Berkenanlah, pembicara kami, dengan wajah yang menampakkan kasihan menolong kami, dan Yesus yang terpuji, buah kandunganmu, sudi pada saat ajal tunjukkan.

O…Kenya, pemurah, yang manis dan penuh kasih.”

Akhirnya kami tutup kesaksian ini dengan Firman Kristus pada Markus 9:23b “Segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.”

Terpujilah Kristus.

Salam saya,
Bernadeta Tri Wulan Windri Hastuti


Sumber : Katolisitas.org


Paulina Maria Tri Widyaningrum:
Kesembuhanku adalah Mukjizat



Paulina Maria Tri Widyaningrum: <br>Kesembuhanku adalah Mukjizat
[Ivonne Suryanto]
Paulina Maria Tri Widyaningrum
dan suaminya,
Yohanes Sasmita Hadi.
Pukul tiga dini hari, ayam berkokok di pelataran Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Biasanya ini pertanda ada peziarah yang disembuhkan Tuhan. Dada Paulina bergemuruh kencang, lalu ia berteriak, ”Aku yang disembuhkan Tuhan.”

Tahun 1998, Paulina Maria Tri Widyaningrum (50) merasakan sakit kepala yang tidak kunjung sembuh. Setelah di CT scan ternyata di dekat otak sebelah kiri ada tumor dan harus dilakukan operasi. Tapi setelah operasi, Paulina justru sering mengalami perdarahan di hidung dan mulut, serta kehilangan pendengaran telinga sebelah kiri. Selama enam bulan karyawati di sebuah perusahaan farmasi ini bertahan dengan obat-obatan.

Lama-kelamaan, Paulina tak kuat lagi bekerja. Lalu, ia memutuskan keluar dari pekerjaan. Pekerjaannya kini mengurusanak. Anaknya yang masih TK, tidak bisa diberi susu, hanya diberi teh, karena keuangan menipis. Tak ingin berdiam diri, sambil menunggu anak-anak bersekolah, ia meronce rosario ”Kerahiman Ilahi”. Ternyata, banyak orang yang pesan. ”Sakitku ternyata bisa menjadi berkat,” ungkapnya penuh syukur.

Tahun 2001, sewaktu menunggui anaknya di sekolah, ia mengalami perdarahan. Dokter Inge yang tinggal di dekat rumahnya, menyuruh Paulina ke rumah sakit. Tetapi, ibu tiga anak ini menolak. Ia hanya mau berdoa. ”Lho, ya tidak bisa hanya dengan doa. Kamu harus bertahan, anakmu ‘kan masih kecil-kecil,” nasihat dr Inge.

Paulina sudah pasrah bila ia harus meninggal. Ia berkata kepada Yohanes Sasmito Hadi (53), suaminya, ”Kesalahanku selama kita hidup bersama tolong diampuni, titip anak-anak ya Pak!” Suaminya menjawab, ”Kita cuma punya rumah ini. Tidak apa-apa rumah ini dijual untuk biaya pengobatanmu.” Tetapi, Paulina tetap menolak.

Paulina takut bila ia dioperasi, banyak biaya yang harus dikeluarkan. Waktu itu kondisi keuangan keluarganya buruk. Tidak ada televisi di rumahnya, hiburan diganti dengan menyanyi dan berdoa bersama. ”Tuhan, ibuku jangan seda (meninggal) ya. Tolong sembuhkan ibuku, ya Tuhan,” begitulah doa anak-anak Paulina.

Mimpi disembuhkan 

Suatu hari Paulina bermimpi disembuhkan di gua. Dalam mimpinya, di sekitar gua itu terdapat bebatuan, air terjun, dan jurang. Ada Misa dan imam yang memakai pakaian hitam-hitam. Lalu, Sasmito, suaminya, berkata bahwa istrinya sakit. Kemudian, pastor mengambil mahkota duri di salib Yesus dan memakaikan mahkota duri itu di atas kepalanya. Saat itu juga Paulina terbangun. Paulina terobsesi, di mana ada gua yang seperti di mimpinya? ”Cari, cari, cari…” Terdengar suara keras di hati Paulina.

”Aku tak mau di-CT scan, aku mau mencari gua seperti dalam mimpiku,” katanya dengan penuh keyakinan.

Lalu, Paulina bertanya kepada banyak orang, namun ia tidak mendapat jawaban yang diinginkan. Karena tidak ada yang tahu gua itu, Paulina memutuskan untuk berdoa novena di sembilan gua Maria. Ia yakin, salah satu dari gua itu adalah gua yang ada di dalam mimpinya. Di gua itulah, ia berharap, penyakitnya akan disembuhkan.

Uang pemberian sahabatnya digunakan untuk membiayai perjalanan ke Yogyakarta. Adiknya menyuruh Paulina berkonsultasi ke Prof dr Paulus Sugiarto SpB. Ada juga saudaranya yang menyarankan untuk berobat alternatif. Paulina tetap menolak. Ia hanya percaya pada kekuatan doa. Namun, karena kini penyakitnya sudah menjadi persoalan keluarga besar, maka mereka tetap membantu.

Dengan meminjam motor adiknya, malam hari ia pergi ke Gua Maria Sendang Jatiningsih Klepu, Sleman, berdoa ditemani buku Mukjizat Tuhan Yesus, 15 Doa Penderitaan Yesus atau lebih dikenal dengan ’Doa Santa Brigitta’. Paulina memilih doa ini, karena di dalam mimpinya kepalanya dipasangi mahkota duri. Berarti ia harus ikut serta dalam penderitaan Yesus, dengan mengikuti jalan salib-Nya.

Tak jadi dikemoterapi 

Lalu, Paulina melanjutkan novena ke gua yang kedua, yaitu Gua Maria Tritis, Gunung Kidul. Di sana ia ditawari menjalani pengobatan gurah. Karena mahal, hati Paulina merasa tidak sreg.

Di rumah, badannya sudah keluar benjolan-benjolan. Paulina memeriksakan lagi ke dokter Sugiarto. Dokter menyatakan, kanker itu sudah menyebar hingga ke paru-paru dan jantung, dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pemeriksaan untuk mendeteksi kanker dengan melihat jumlah populasi gen menunjukkan CNV (copy number variation) dalam tubuh Paulina tinggi. Karena tidak bisa disembuhkan dengan obat, Paulina harus menjalani kemoterapi.

Hati Paulina gundah. Biaya kemoterapi tinggi. Tetapi, dengan dukungan keluarga, Paulina menentukan hari untuk kemoterapi. Ia menceritakan kondisinya kepada dr Inge. Lalu, dokter menyuruhnya rontgen. Setelah rontgen di RS Panti Rapih, Paulina tidak segera pulang. Ia pergi ke Gua Maria Sendang Sriningsih, Prambanan. Setelah jalan salib di Sriningsih, Paulina mengambil hasil rontgen. Ternyata, hasilnya bagus. Paulina kaget. Lalu, ia menyampaikan hasil itu ke dokter, dan menceritakan mimpinya. ”Ibu, kalau jalan salib jangan yang rutenya panjang. Yang pendek saja karena kondisi kesehatan Ibu sudah tidak memungkinkan,” saran dokter.

Paulina bertekad untuk berdoa semalam suntuk di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Ada Misa tengah malam, pas malam satu Suro. Di hari jadwal kemoterapinya, ibu-ibu lingkungan, guru TK anaknya, dan dokter Inge menengok ke RS Panti Rapih sambil membawa uang tali kasih. Ternyata, kemoterapi diundur, karena hasil tes kesehatannya bagus. Namun, para penengok menasihati agar Paulina tidak usah meraba-raba, melainkan berdoa saja. ”Aku mimpi disembuhkan di gua, nanti aku mau Misa di Ganjuran, siapa yang mau menitip ujub?” tanya Paulina kepada ibu-ibu yang menengoknya.

Ayam berkokok 

Di Ganjuran, Paulina mengurapi benjolan-benjolan di tubuhnya dengan air. Ia berdoa di Candi memakai lentera. Ia membaca doa pasrah dan doa pengampunan dosa. Ia memohon, ”Tuhan sembuhkan aku, jamahlah aku.” Sewaktu Misa, setelah menerima komuni, Paulina berlutut. Ia memegang stola imam dan menggunakannya untuk memberi tanda salib di dahinya sambil berkata, ’Berkah Dalem Gusti’.

Setelah berdoa di pelataran Candi, ia pergi ke toko benda rohani dan membeli salib Yubelium, patung Pieta, replika Kerubin Hati Kudus Yesus Ganjuran, patung Bunda Maria Fatima, dan botol air. Ia hanya diam saja saat ditanya suaminya mengapa membeli benda-benda itu. Lalu, ia mencari pastor dan meminta berkat untuk benda-benda rohani yang baru dibelinya.

Pukul tiga pagi terdengar ayam berkokok. ”Lho ada ayam berkokok. Ini biasanya ada peziarah yang disembuhkan Tuhan,” sahut Pastor Emmanuel Maria Supranowo Pr, imam yang memimpin Misa. Sebuah suara terdengar di dalam hati Paulina, ”Yang disembuhkan Tuhan itu ’kan kamu.”

Paulina berseru, ”Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh.” Lalu, ia memegang benjolan di tubuhnya. Ia terkejut. Benjolan di tubuhnya semakin kecil.

Dengan penuh sukacita, Paulina bercerita kepada Pastor Supranowo bahwa ia datang karena bermimpi disembuhkan di gua. Dan, Pastor Supranowo bercerita bahwa di Ganjuran, di bagian bawah memang terdapat bebatuan, air terjun, dan jurang, persis seperti yang digambarkan di dalam mimpi Paulina. Mimpi itu pasti ada sanepa (makna)-nya. Mukjizat itu terjadi di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Ini gua ke-empat yang Paulina datangi.

Paulina disarankan untuk melanjutkan novena ke gua yang lain, namun kali ini untuk bersyukur. ”Ibu tadi berdoa memohon pengampunan dosa. Kapan Ibu mengaku dosa?” tanya Pastor Supranowo.

”Saya mau sekarang,” jawab Paulina mantap. Lalu, mereka mencari tempat yang terang karena langit masih gelap.

”Lalu, rencana Ibu apa?” tanya pastor.

”Saya mau ke Sendangsono pagi ini juga,” ujarnya berkeras walau dihalangi suaminya.

Sukacita membuat Paulina tidak mengantuk walau tidak tidur semalaman. Ia pergi ke Sendangsono sambil memangku kardus berisi benda-benda rohani. Ia membonceng sepeda motor sembari menyanyi Nderek Dewi Maria dan Tuhan Semayam di Hatiku. Sampai di Promasan, Sasmito sudah tidak kuat lagi. Mereka beristirahat di Paroki Santa Maria Lourdes Promasan, Kulon Progo.

Sesampai di Sendangsono, Paulina melakukan jalan salib sendiri di Gua Maria Lourdes Sendangsono. Sepanjang hari itu Paulina sangat bahagia. ”Aku bahagia karena aku disembuhkan Tuhan,” ujarnya kepada orang-orang yang ditemuinya.

Sesampainya di Semarang, Paulina periksa laboratorium. Hasilnya, ia tidak perlu kemoterapi. Sebagai wujud syukur, ia melanjutkan ziarahnya ke Gua Maria Kerep Ambarawa, Gua Maria Kaliori Purwokerto, Gua Maria Mojosongo Solo, Gua Maria Sendang Ratu Kenya Wonogiri, Gua Maria Gunung Sempu Yogyakarta, Gua Maria Pohsarang Kediri, dan terakhir Paulina mengikuti Retret Pohon Keluarga di Tumpang, Malang….

Ivonne Suryanto




Mukjizat Hosti

Mukjizat Lanciano




TRANI, tahun 1000

Pasa masa terjadinya Mukjizat Ekaristi ini, adalah seorang wanita Yahudi yang amat benci pada Gereja Katolik. Gereja St. Anna, dulunya adalah sebuah sinagoga, tetapi kini telah menjadi Gereja Katolik di mana orang-orang Yahudi yang telah bertobat bersembah bakti kepada Tuhan. Hari Kamis Putih, yaitu malam ditetapkannya Sakramen Ekaristi, adalah malam terjadinya mukjizat.


Wanita Yahudi berhasil membujuk seorang wanita Katolik yang murtad untuk membawakan baginya sekeping Hosti yang telah dikonsekrasikan. Setelah menerima Komuni Kudus, wanita itu tidak menyantap Hosti, melainkan membawanya kepada si wanita Yahudi guna mendapatkan imbalan sejumlah uang. Si wanita Yahudi kemudian pergi ke tungku dapur dan menjerangkan periuk yang telah diisinya dengan minyak. Ketika minyak dalam periuk mendidih, ia melemparkan Hosti Kudus ke dalamnya. Wanita itu sangat terkejut ketika Hosti berubah menjadi daging dan mulai mengeluarkan banjir darah.



Wanita Yahudi itu amat ketakutan sementara darah terus membanjir hingga meluber ke luar periuk. Para tetangga berdatangan untuk melihat mengapa ia berteriak-teriak, maka ia menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Beberapa wanita bergegas melaporkannya kepada imam yang segera datang dan melihat darah yang membanjir. Imam mengambil daging dari periuk dan membawanya ke Katedral Trani. Sebuah monstran perak berhias indah dirancang khusus bagi Kristus. Di tengah monstran ditempatkan dua bagian kecil dari Hosti yang tergoreng. Warna sebagian besar Hosti adalah coklat tua dan Hosti yang tercelup darah itu tidak mengalami kerusakan. Hosti disimpan dengan hormat serta dapat dilihat di katedral.



Selama berabad-abad dilakukan penyelidikan serta analisa terhadap Mukjizat Ekaristi ini. Pada tahun 1384, Paus Urbanus VI mengunjungi Trani dan menyatakan bahwa Hosti secara ajaib tidak mengalami kerusakan. Suatu pengakuan mengagumkan atas Kehadiran Nyata Yesus dalam Ekaristi. 



FERRARA, tahun 1171

Mukjizat ini terjadi di Gereja St. Maria dari Ford di Ferrara, Italia lebih dari 800 tahun yang silam. Mukjizat terjadi pada Hari Minggu Paskah pada saat Konsekrasi. Ketika Hosti dipecah menjadi dua bagian, semua yang hadir terkejut melihat cucuran darah muncrat dari Hosti. Darah yang memancar demikian banyak hingga memercik ke dalam kubah setengah lingkaran yang berada di belakang dan di atas altar. Tidak saja para saksi mata melihat darah, mereka juga melihat Hosti telah berubah menjadi daging.

Uskup Ferrara dan Uskup Agung Gherardo dari Ravenna datang serta menyaksikan darah dan Hosti yang telah menjadi daging. Mereka menyatakan bahwa darah dan Hosti adalah sungguh Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Paus Eugenius IV dan Paus Benediktus XIV mengakui mukjizat ini. Paus Pius IX mengunjunginya pada tahun 1858 dan mengenali tetesan-tetesan darahnya serupa dengan tetesan darah dalam Mukjizat Orvieto dan Bolsena.




AUGSBURG, tahun 1194


Mukjizat ini terjadi ketika seorang wanita ingin menyimpan Hosti yang telah dikonsekrasikan dalam rumahnya. Suatu pagi, ia menerima Ekaristi, tetapi tidak menyantapnya. Ia membawa pulang Hosti dan menempatkannya dalam segel, menjadikannya suatu reliqui sederhana. Ia menyimpan Tubuh Kristus di rumahnya selama lima tahun, tetapi lama-kelamaan timbul perasaan bersalah hingga akhirnya ia mengatakannya kepada pastor paroki.

Pastor Berthold, imam setempat, terperanjat ketika membuka segel reliqui. Dialah yang pertama melihat bahwa Hosti telah berubah menjadi sesuatu yang tampak seperti daging dengan lapisan-lapisan merah yang nampak jelas. Imam mendiskusikan masalah ini panjang lebar dan memutuskan bahwa mereka akan dapat mengidentifikasikannya dengan lebih baik jika daging dibagi menjadi dua bagian. Mereka keheranan ketika mendapati bahwa daging tidak dapat dibagi karena disatukan oleh pembuluh-pembuluh darah yang seperti benang. Diyakini kemudian bahwa daging tersebut adalah daging Tuhan kita Yesus Kristus.

Uskup Udalskolk dengan seksama meneliti mukjizat tersebut dan memerintahkan agar mukjizat Hosti ditempatkan kembali ke dalam segel reliquinya semula untuk dipindahkan ke katedral.

Mukjizat Hosti dan segelnya kemudian ditempatkan dalam suatu wadah kristal dan disimpan dalam kaca. Hosti tetap dalam keadaan semula hingga hampir 800 tahun.

Setiap tahun pada tanggal 11 Mei, pada perayaan Fest des Wunderbarlichen, yaitu Pesta Mukjizat Harta yang Mengagumkan, Hosti dihormati dengan perayaan Misa yang khidmat dan pakaian liturgi khusus.



ALATRI, tahun 1228



Seorang pemudi, yang tertarik pada seorang pemuda, diminta untuk membawa sekeping Hosti yang telah dikonsekrir agar dapat dibuatkan ramuan cinta. Sang pemudi menerima Komuni dan berjalan pulang ke rumah, tetapi karena merasa bersalah ia menyembunyikan Kristus di suatu pojok rumah.

Beberapa hari kemudian, ia datang dan mendapati bahwa Hosti telah berubah warna seperti daging. Imam paroki segera diberitahu dan ia membawa Hosti kepada Uskup. Bapa Uskup menulis surat kepada Paus Gregorius IX yang isinya:

“Kita patut menyampaikan puji syukur sedalam-dalamnya kepada Dia yang, sementara senantiasa menyelenggarakan segala karya-Nya dengan cara-cara yang mengagumkan, pada kesempatan-kesempatan tertentu juga mengadakan mukjizat-mukjizat dan melakukan hal-hal menakjubkan agar para pendosa menyesali dosa-dosa mereka, mempertobatkan yang jahat, dan mematahkan kuasa bidaah sesat dengan memperteguh iman Gereja Katolik, menopang pengharapan-pengharapannya serta mendorong amal kasihnya. 

Oleh sebab itu, saudaraku terkasih, dengan surat Apostolik ini, kami menyarankan agar engkau memberikan penitensi yang lebih ringan kepada gadis tersebut, yang menurut pendapat kami, dalam melakukan dosa yang teramat serius itu, lebih terdorong oleh kelemahan daripada kejahatan, terutama dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa ia sungguh menyesal setulus hati ketika mengakukan dosanya. Namun demikian, terhadap wanita yang menghasutnya, yang dengan kejahatannya mendorong si gadis untuk melakukan dosa sakrilegi, perlu dikenakan hukuman disipliner yang menurutmu lebih pantas; juga memerintahkannya untuk mengunjungi semua Uskup di wilayah terdekat, guna mengakukan dosa-dosanya kepada mereka dan mohon pengampunan dengan ketaatan yang tulus …”

Mukjizat Hosti dipertontonkan dua kali setahun, yaitu pada hari Minggu pertama sesudah Paskah dan hari Minggu pertama sesudah Pentakosta.

Pada tahun 1960, Uskup Facchini dari Alatri membuka segel tempat Hosti disimpan dan mengeluarkannya. Uskup menyatakan bahwa Hosti tetap dalam keadaan sama seperti saat pertama diketemukan, yaitu, sekerat daging yang tampak sedikit kecoklatan.

Pada tahun 1978, perayaan-perayaan istimewa diselenggarakan untuk memperingati 750 tahun terjadinya mukjizat.


DAROCA, tahun 1239

Kota di Spanyol ini bukanlah tempat terjadinya mukjizat, melainkan tempat ditahtakannya mukjizat Ekaristi yang terjadi dalam masa perang antara Spanyol dan Saracens pada abad ketigabelas.

Seperti kebiasaan, sebelum maju berperang, keenam komandan Spanyol pergi menghadiri Misa dan menerima Sakramen Tobat. Di pinggiran kota, mereka diserang secara tiba-tiba oleh pasukan Saracens. Imam membungkus keenam Hosti yang telah dikonsekrasikan dengan korporal, lalu menyembunyikannya sementara pasukan Spanyol membalas serangan Saracens. Setelah pertempuran yang dimenangkan oleh Spanyol itu usai, imam pergi ke tempat ia menyembunyikan Hosti dan mendapati bahwa Hosti telah lenyap meninggalkan enam noda darah di korporal. Rahasia kemenangan mereka dinyatakan oleh Kristus melalui mukjizat Ekaristi ini.

Masing-masing komandan menghendaki agar korporal disimpan di kota asalnya. Dari tiga pilihan, akhirnya dipilihlah kota Daroca. Dua orang komandan tidak setuju akan keputusan tersebut, maka diusulkanlah suatu jalan keluar. Korporal akan dimuatkan ke atas punggung seekor keledai Saracen yang dibiarkan pergi sekehendak hatinya dan tempat di mana keledai itu berhenti akan menjadi tempat korporal ditahtakan. Sang keledai berhenti di kota Daroca. Darah di korporal telah dianalisa para ahli dan dinyatakan sebagai darah manusia.



SANTAREM, tahun 1247

Seorang wanita yang suaminya tidak setia, meminta nasehat dari seorang wanita tenung. Wanita sihir itu berjanji akan mengubah perilaku suaminya jika si wanita membawakan baginya sekeping Hosti yang telah dikonsekrasikan. Ia juga menasehati si wanita untuk berpura-pura sakit agar dapat menerima Komuni Kudus dalam minggu itu dan segera memberikan Hosti kepadanya. Si wanita tahu bahwa hal itu dosa. Ia pergi menerima Komuni, tetapi tidak menyantap Tubuh Kristus. Ia meninggalkan Misa dan dalam perjalanan menuju tempat wanita tenung, Hosti mulai mengeluarkan darah. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut menyangka bahwa ia mengalami pendarahan. Rasa takut menguasai dirinya dan ia pulang ke rumah, menempatkan Hosti dalam sebuah peti, membungkusnya dengan saputangan, lalu menutupinya dengan linen yang bersih.

Tengah malam, ia dan suaminya terbangun oleh suatu sinar cemerlang yang berasal dari peti, yang menjadikan ruangan mereka terang-benderang. Para malaikat telah membuka peti dan membebaskan Tuhan. Wanita itu menceritakan kepada suaminya apa yang telah terjadi dan bahwa dalam peti terdapat sekeping Hosti yang telah dikonsekrasikan. Berdua mereka melewatkan sepanjang malam dengan berlutut dalam sembah sujud. Seorang imam dipanggil. Imam membawa Hosti Kudus kembali ke gereja dan menyegelnya dalam sebuah segel lilin.

Sembilan belas tahun kemudian, seorang imam membuka tabernakel dan memperhatikan bahwa segel telah terbuka sementara Hosti tersimpan dalam sebuah piksis kristal. Mukjizat ini, 750 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1997, diperingati dengan berbagai perayaan meriah di Santarem. 

Kita mungkin bertanya mengapa Tuhan mengadakan mukizat-mukjizat ini bagi kita. Mungkin untuk menyatakan betapa Ia sungguh hadir dalam Ekaristi dan betapa Ia sungguh mengasihi kita. Ia menghendaki agar kita semua, termasuk juga domba-domba yang hilang, bergabung kembali dalam kawanan. Ia mengasihi kita, bagaimana pun berdosanya kita. Ia adalah Allah Kasih dan Belas Kasihan. Dan Ia menghendaki agar kita membagikan Kasih dan Belas Kasihan itu kepada sesama. 


ORVIETO dan BOLSENA, tahun 1263


Mukjizat ini terjadi pada masa suatu ajaran sesat yang disebut Berengarianisme merajalela di Eropa. Bidaah ini menyangkal Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi. Pada tahun 1263, seorang imam bernama Petrus dari Prague sedang dalam perjalanan ziarah ke Roma untuk berdoa di makam pelindungnya, St Petrus, sebab ia menghadapi masalah yang amat serius. Ia merasakan kebimbangan yang besar mengenai Kehadiran Nyata Yesus dalam Ekaristi Kudus. Ia berdoa agar santo pelindungnya memohonkan rahmat baginya guna menyelamatkan imannya yang goyah. Dalam perjalanan, ia singgah untuk bermalam di suatu kota kecil bernama Bolsena, sekitar 70 mil sebelah utara Roma.


Keesokan harinya, Pastor Petrus merayakan Misa Kudus di Gereja St Kristina. Sementara ia mengucapkan kata-kata konsekrasi, “Inilah TubuhKu,” roti di tangannya berubah rupa menjadi Daging dan mulai mencucurkan darah dengan derasnya. Darah jatuh menetes ke korporal. Pastor Petrus amat terperanjat; ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Maka, ia membungkus Hosti Kudus dalam Korporal lalu pergi meninggalkan altar. Sementara ia berjalan pergi, tetesan-tetesan Darah jatuh ke atas lantai pualam di altar.

Paus Urbanus IV sedang berada di kota Orvieto, yang tak jauh dari sana. Pastor Petrus segera menemui paus guna menceritakan apa yang telah terjadi. Paus segera mengutus seorang uskup ke Gereja St Kristina guna menyelidiki peristiwa tersebut dan mengambil Korporal.

Segera sesudah paus menerima Korporal dari Uskup, ia pergi ke balkon Istana Kepausan dan dengan hormat mempertontonkan mukjizat Korporal kepada orang banyak. Bapa Suci menyatakan bahwa mukjizat Ekaristi telah terjadi guna mengusir bidaah Berengarianisme. Pada saat yang sama, seorang pengikut St. Yuliana dari Liègemenghubungi paus untuk sekali lagi memohon demi ditetapkannya Hari Raya Corpus Christi. Setahun kemudian, pada tahun 1264, Paus Urbanus IV memaklumkan Hari Raya agung ini kepada seluruh Gereja. (Mukjizat Korporal disimpan hingga kini di Katedral Orvieto. Lantai pualam bernoda Darah disimpan di Gereja St Kristina di Bolsena). 


CASCIA, sekitar tahun 1300


Cascia adalah sebuah kota kecil di pegunungan di lembah Umbrian, Italia. Itulah kota kediaman St. Rita dari Cascia. Jenazah St. Rita yang hingga kini masih utuh dibaringkan di Basilika Utama. Di bawahnya, di Basilika Kecil, disimpan Mukjizat Ekaristi dan jenazah Beato Simone Fidati, seorang imam yang terlibat langsung dalam mukjizat tersebut.

Pada masa terjadinya mukjizat, seorang imam tak lagi memiliki rasa hormat terhadap Ekaristi. Ketika diminta untuk mengantarkan Sakramen Mahakudus kepada seorang petani yang sedang sakit, ia mengambil sekeping Hosti yang telah dikonsekrasikan, menempatkannya dengan sembarangan di antara halaman-halaman buku breviary, lalu berangkat. Ketika ia membuka bukunya, ia mendapati bahwa Hosti telah berubah warna merah darah segar dan darah meresap ke kedua halaman buku di mana Hosti diselipkan.

Imam tersebut kemudian mohon nasehat Beato Simone Fidati, seorang imam yang kudus dan dihormati pada masa itu. Pastor Fidati menerima pengakuan sang imam dan memberinya absolusi. Beato Fidati mengambil kedua halaman dari breviary itu; satu ditempatkannya di tabernakel di Perugia dan satunya lagi ditempatkannya di Cascia. Mukjizat Ekaristi ini diperingati secara istimewa di Cascia setiap tahun pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus.

Orang-orang yang melihat ke halaman yang ternoda darah itu dapat melihat gambar Kristus tertera di sana.



HASSELT, tahun 1317

Seorang imam mengunjungi seorang penduduk desa yang sedang sakit. Ia membawa bersamanya sekeping Hosti dalam siborium dan meletakkan siborium di atas meja, sementara ia pergi ke kamar lain untuk berbicara dengan si sakit dan keluarganya. Seseorang yang berada dalam keadaan dosa berat membuka tutup siborium, memegang Hosti, lalu mengangkatnya. Seketika itu juga, Hosti mulai berdarah. Imam memasuki ruangan dan ia amat terperanjat melihat Hosti yang berdarah.

Imam membawa kembali Hosti yang berdarah itu kepada kepala parokinya yang menasehatinya untuk membawa Mukjizat Ekaristi itu ke gereja biara para biarawati Cistercian di Herkenrode yang berjarak sekitar 30 mil jauhnya.

Begitu imam tiba di altar biara dan menempatkan Hosti di atas altar, suatu penglihatan akan Kristus bermahkotakan duri nampak kepada semua imam yang hadir. Oleh karena mukjizat Ekaristi dan penglihatan itu, segera saja Herkenrode berubah menjadi tempat ziarah yang terkenal di Belgia.

Pada tahun 1804, Hosti dibawa ke Gereja di San Quentin di Hasselt, di mana mukjizat Hosti yang terjadi pada tahun 1317 itu masih tetap dalam keadaan seperti semula.



BLANOT, tahun 1331

Blanot, suatu dusun pertanian kecil, tidak pernah digambarkan dalam peta-peta Perancis. Orang-orang Perancis yang meninggalkan Paris dan wilayah utara untuk menikmati matahari pantai selatan akan melewatinya dari tahun ke tahun tanpa pernah mengetahui keberadaan Blanot.

Namun demikian, dusun kecil ini dipilih Tuhan untuk menyatakan mukjizat-Nya - mukjizat Ekaristi. Pada tahun 1331 penduduk desa berdatangan dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai kuda untuk merayakan Misa Paskah. Gereja kecil mereka dipadati umat beriman dan Misa pun dimulai. Kesedihan Masa Prapaskah telah berlalu dan umat Kristiani di seluruh dunia merayakan sukacita Kebangkitan Yesus. Dapat dibayangkan bagaimana bunga-bunga liar yang indah di desa itu telah dikumpulkan dan dirangkai menghiasi gereja untuk perayaan meriah pagi itu.

“Yesus Kristus telah Bangkit - Alleluia!”

Sementara imam mempersiapkan Hosti, para putera altar membentangkan kain putih panjang guna meyakinkan bahwa Hosti Kudus tidak terjatuh di lantai. Umat maju ke altar, sebagian dengan tangan bersilang di dada dan sebagian lainnya membuka mulut mereka untuk menerima Hosti. Seorang wanita, dengan sedikit tergesa dan canggung, menutup mulutnya terlalu cepat sehingga secuil kecil Hosti jatuh ke atas kain putih. Para putera altar amat terperanjat ketika serpihan kecil Roti berubah menjadi suatu tetesan berwarna merah!

Segera sesudah umat terakhir menyambut Kristus, para putera altar bergegas memberitahukan kepada imam apa yang telah terjadi. Imam menyisihkan kain itu dan mencucinya dalam air bersih beberapa kali, tetapi, meskipun air berubah warna menjadi merah, bekas tetesan terus muncul dan semakin membesar. Bekas itu tidak mau hilang. Imam kemudian sadar bahwa Darah tidak akan mungkin dihapuskan dari kain, maka ia menggunting bagian yang ternoda Darah dan menempatkannya dalam sebuah mostrans.

Berita tentang mukjizat ini berkembang amat cepat dan pada hari Minggu, limabelas hari sesudah paskah, Uskup Autun dari keuskupan terdekat, datang ke Blanot disertai serombongan imam untuk menyelidiki kasus tersebut. Di akhir penelitian, tim sepakat dengan suara bulat bahwa suatu mukjizat telah terjadi. Tahun berikutnya, Paus Yohanes memberikan indulgensi khusus bagi mereka yang merayakan Misa di gereja kecil Blanot. Para peziarah dari tempat-tempat yang jauh berdatangan ke Blanot. Kain di simpan dalam gereja sebagai tanda nyata akan kasih Allah. Di kemudian hari, kain dipotong dan reliqui kecil yang berharga itu ditempatkan dalam sebuah botol kristal. Meskipun harus melewati dua kali masa perang dunia, reliqui tersebut tidak pernah meninggalkan Blanot. Dalam masa-masa kesesakan - reliqui dihantar dari rumah ke rumah - dan dari waktu ke waktu dipergunakan untuk menyembuhkan mereka yang sakit. Dalam masa-masa tenang, reliqui dihantar kembali ke rumahnya yang pantas dalam dinding gereja dan di sanalah ia berada hingga saat ini bagi para peziarah yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk menyaksikan serta bersembah sujud di hadapannya.



BOLOGNA, tahun 1333


Mukjizat ini terjadi pada tahun 1333 di Bologna, Italia karena seorang gadis remaja saleh yang berumur sebelas tahun memiliki kerinduan yang berkobar-kobar untuk menyambut Kristus dalam Ekaristi.

Imelda Lambertini dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya. Ayahnya adalah Count Eagno Lambertini. Imelda bergabung dalam Biara Dominikan ketika usianya baru sembilan tahun. Ia disayangi oleh para biarawati lainnya. Dalam usia yang masih sangat muda, Imelda memiliki cinta yang menyala-nyala kepada Yesus dalam Ekaristi dan karenanya sungguh rindu menyambut-Nya dalam Komuni Kudus. Tetapi, hal itu tidak mungkin baginya karena usianya belum cukup untuk dapat menerima Komuni.

Tuhan mengaruniakan kepadanya suatu anugerah istimewa pada Pesta Kenaikan Yesus ke Surga pada tahun 1333. Sementara ia berdoa, sebuah Hosti tampak melayang-layang di udara di hadapannya. Imam segera dipanggil dan ia memberikan kepada Imelda Komuni Kudusnya. Imelda mengalami ekstasi dan tidak pernah bangun kembali. Ia wafat saat menyambut Komuni Kudusnya yang Pertama!

Devosi kepada Beata Imelda pun dimulai dan pada awal tahun 1900-an suatu komunitas Dominikan dibentuk dengan nama Suster-suster Dominikan dari Beata Imelda. Para biarawati ini berjuang keras menyebarluaskan cinta dan devosi kepada Ekaristi serta menggalakkan Adorasi Abadi. Jenasah Beata Imelda yang tetap utuh hingga kini dibaringkan di Gereja San Sigismondo dekat Universitas Bologna. Paus St. Pius X memaklumkan Imelda sebagai Pelindung Para Penerima Komuni Pertama.



Ya Kristus, biarkan kami mati setiap hari bagi-Mu dan menyambut Engkau dalam Ekaristi seakan-akan itulah komuni kami yang terakhir. Jadikan kami pula seperti anak-anak kecil, dengan cinta yang polos dan kepercayaan penuh akan cinta dan belas kasihan-Mu.




MACERATA, tahun 1356

Hanya sedikit catatan yang ada mengenai mukjizat Ekaristi ini, tetapi kisahnya yang ditulis di atas sebuah perkamen dari abad ke-14 masih ada hingga sekarang.

Mukjizat ini berkenaan dengan perdebatan yang berlangsung beberapa abad sebelumnya dan yang ditulis oleh St. Thomas Aquinas; yaitu, apakah Kristus tetap hadir sama dalam setiap bagian Hosti yang telah dikonsekrasikan setelah Hosti dipecah-pecahkan oleh imam, yang kemudian memasukkan sepotong kecil Hosti Kudus ke dalam piala berisi anggur yang telah dikonsekrasikan.

Mukjizat terjadi setelah imam memecahkan sebuah Hosti besar. Darah mulai memancar dari Hosti ke dalam piala dan membasahi korporal serta kain altar. Imam kemudian pergi kepada uskup yang mengesahkan peristiwa mukjizat ini. Korporal dengan Darah Kristus dihormati setiap tahun di Macareta pada hari Minggu sesudah Pentakosta. Kini reliqui disimpan di bawah altar Katedral Macerata.


MIDDLEBURG ~ LOUVAIN, tahun 1374


Pada tahun 1374, seorang pemuda dengan dosa berat dalam jiwanya pergi menyambut Komuni Kudus. Ketika Hosti ditempatkan di atas lidahnya, Hosti berubah menjadi Daging sehingga ia tak dapat menelannya. Darah menetes dari bibirnya dan membasahi kain pada rel komuni. Imam bertindak cepat dengan mengambil Hosti Kudus serta menempatkannya dalam sebuah piala di altar.

Berita mengenai mukjizat ini tersebar keseluruh penjuru Belgia dan mukjizat Hosti dipindahkan 700 mil jauhnya ke Cologne. Sebuah ostensorium berhias indah dibuat. Sebagian Hosti dan sepotong kain dengan noda darah kemudian dibawa ke Louvain di mana telah dipersiapkan sebuah wadah reliqui yang indah.

Bagian mukjizat Ekaristi yang disimpan di Louvain berwarna agak kecoklatan dan dapat dikenali dengan mudah sebagai daging. Reliqui disimpan dalam sebuah wadah reliqui yang dibuat pada tahun 1803. Dokumen-dokumen penting dan hasil penelitian terhadap reliqui disimpan dalam perpustakaan Gereja St. Jacques.



BOXTEL ~ HOOGSTRATEN, tahun 1380

Mukjizat terjadi di Boxtel, Belanda, sekitar tahun 1379 di Gereja St. Petrus. Pada saat Konsekrasi, imam - Pastor Van der Aker - kehilangan keseimbangan dan menumpahkan isi piala ke atas korporal dan kain altar. Karena alasan yang tidak diketahui, imam mempergunakan anggur putih dalam Misa tersebut, tetapi yang tampak di atas korporal dan kain altar adalah cairan berwarna merah darah!

Setelah Misa usai, imam bergegas ke sakristi untuk mencuci korporal dan kain altar. Ia berusaha menghilangkan noda darah. Namun demikian, berbagai usaha yang dilakukannya tidak membuahkan hasil. Pastor Van der Aker lalu menempatkan kain dalam sebuah piala kecil dan menyembunyikannya. Menjelang ajalnya, imam mengaku kepada bapa pengakuannya dan menunjukkan di mana ia telah menyembunyikan korporal dan kain altar yang kudus itu, masih dengan noda darah merah yang tertumpah atasnya.

Pastor Van der Aker meninggal dunia pada tahun 1379, dan pada tahun 1380 Kardinal Pileo memaklumkan agar setiap tahun sekali, yaitu pada tanggal 25 Juni reliqui Darah Mahasuci ditahtakan.

Pada tahun 1652, korporal dan kain altar dengan Darah Mahasuci dipindahkan ke Hoogstraten, di perbatasan Belgia. Pada tahun 1924, korporal kudus dikembalikan ke Boxtel, tetapi kain altar tetap disimpan di Hoogstraten. Bahkan hingga kini masih diadakan perarakan mukjizat Ekaristi di Boxtel pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Umat tidak pernah ragu lagi dalam iman mereka akan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi.




BAGNO DI ROMAGNA, tahun 1412

Mukjizat Ekaristi ini terjadi di sebuah kota kecil di Italia bernama Bagno di Romagna ketika seorang imam merayakan Misa dengan dihantui keragu-raguan yang besar akan Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi. Setelah mengkonsekrasikan anggur, imam melihat ke dalam piala dan amat terkejut melihat bahwa anggur telah berubah menjadi darah. Darah mulai meluap keluar dari piala dan membasahi korporal. Terguncang oleh peristiwa adikodrati ini, imam segera berdoa mohon pengampunan. Kelak, ia bahkan digelari Venerabilis karena kesalehan hidupnya setelah terjadinya mukjizat.

Pada tahun 1912, ulang tahun ke-500 mukjizat Ekaristi, suatu perayaan besar diselenggarakan. Pada tahun 1958, dilakukan penelitian ilmiah yang hasilnya menguatkan bahwa darah di korporal adalah darah manusia dan masih mengandung karakteristik darah setelah hampir 600 tahun sesudah mukjizat terjadi.

Mungkin mukjizat Darah yang meluap hendak menunjukkan kepada kita bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Mari merenungkan bagaimana seharusnya kita berubah setelah menyambut Yesus dengan mengijinkan-Nya tinggal dalam kita dan mengisi kita dengan kuasa Roh Kudus.




FAVERNEY, tahun 1608

Mukjizat unik ini tidak menyangkut Hosti Kudus yang berubah rupa menjadi daging atau memancarkan darah, melainkan Hosti yang melawan hukum gravitasi. Mukjizat terjadi setelah pecahnya Reformasi dan semangat umat beriman semakin mengendor. Pada tahun 1608, pada Hari Raya Pentakosta, tanggal 25 Mei, gereja dipadati umat dan saat senja tiba, dua lampu minyak dibiarkan menyala di depan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan sepanjang malam dalam sebuah monstran.

Keesokan harinya, seorang petugas sakristi membuka pintu-pintu gereja. Ia melihat asap dan menyadari bahwa telah terjadi kebakaran. Segala daya upaya dilakukan guna memadamkan api; terlihat bahwa monstran melayang-layang di udara. Berita mulai tersebar dan banyak orang percaya maupun mereka yang skeptis datang untuk menyaksikan peristiwa ini. Para imam bergantian mempersembahkan Misa Kudus sementara semakin banyak orang yang datang untuk menyaksikan mukjizat. Pada pagi hari Selasa, 27 Mei, dalam Perayaan Misa, saat Konsekrasi, Hosti Kudus turun ke atas altar yang dibawa ke dalam Gereja untuk menggantikan altar lama yang musnah dimakan api.

Penyelidikan pun dilakukan dan 54 surat pernyataan berisi kesaksian berhasil dikumpulkan dari para imam, biarawan, petani serta penduduk desa. Pada tanggal 30 Juli 1608, Uskup Agung menyatakan peristiwa tersebut sebagai mukjizat.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa altar, taplak altar, dan segala peralatan lainnya musnah, juga sebuah kandelar didapati meleleh karena panasnya api. Namun demikian, monstran tetap utuh. Pernyataan-pernyataan para saksi di bawah sumpah masih disimpan hingga kini dalam gereja. Sebuah prasasti marmer dipasang di bawah lokasi di mana Hosti melayang dengan tulisan berikut diukir di atasnya: “Lieu Du Miracle” yang artinya “Tempat terjadinya Mukjizat.”



SIENA, tahun 1730


Mukjizat Ekaristi ini terjadi pada akhir pekan Pesta Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, di kota Siena, Italia, pada tahun 1730. Siena adalah sebuah kota yang menawan, yang terkenal karena sejarah seni dan kebudayaannya, dan juga karena di kota itulah St. Katarina dan St. Bernardinusdari Siena dilahirkan.

Para pencuri berhasil masuk ke dalam gereja dan mencuri siborium emas yang berisi 351 Hosti yang telah dikonsekrir. Ketika para petinggi Gereja menyadari apa yang telah terjadi, segala kegiatan pada hari itu dihentikan dan doa-doa pun dipanjatkan demi kembalinya Hosti Kudus dengan selamat. Tiga hari kemudian, Hosti Kudus didapati muncul dari kotak dana gereja bagi orang-orang miskin dan jumlahnya masih utuh.

Hosti yang adalah Kristus dibersihkan dan kemudian diarak perlahan kembali ke gereja di mana dihaturkan sembah sujud. Hosti Kudus tidak disantap pada waktu itu. Tahun-tahun berlalu dan secara periodik Hosti disantap dan senantiasa didapati dalam keadaan baru.

Pada tahun 1850, uskup memerintahkan dilakukan pengujian yang hasilnya menguatkan bahwa Hosti masih dalam keadaan baru. Mereka juga melakukan pengujian yang sama atas hosti-hosti yang tidak dikonsekrasikan, yang ditempatkan dalam sebuah kotak kedap udara pada tahun 1789, ternyata didapati hanya sedikit saja yang tersisa.


PEZILLA-LA-RIVIERE, tahun 1793

Mukjizat Ekaristi Pezilla-la-Riviere terjadi pada bulan September 1793, bertepatan dengan Revolusi Perancis dan dimulainya masa pemerintahan yang bengis.

Revolusi dan gelombang anti-Katolik menyebar dengan sangat cepat, dan kaum religius dikejar-kejar polisi. Dalam Gereja desa terdapat lima Hosti yang telah dikonsekrasikan; satu Hosti Kudus yang besar dihantar ke rumah Jean Bonafas, sementara keempat Hosti yang kecil, yang ditempatkan dalam sebuah piksis, dipercayakan kepada Rose Llorens. Jean menempatkan Hosti Kudus dalam sebuah kotak kayu serta menyembunyikannya di bawah lantai rumahnya. Rose menempatkan Hosti Kudus dalam sebuah cawan gelas bertutup dan kemudian menempatkannya dalam sebuah tas sutera merah.

Hampir tujuh tahun kemudian, pada hari-hari berakhirnya Revolusi, keempat Hosti dikeluarkan dari cawan gelas dan suatu segel berwarna coklat tua terbentuk disekeliling bagian luar cawan. Tujuh hari kemudian, kotak kayu pun dibuka dan Hosti Kudus yang besar masih terletak di dalam Monstran, sama indah dan sama putih bersihnya seperti saat ditempatkan di sana hampir tujuh tahun yang silam. Hosti-hosti Kudus tetap dalam keadan utuh dan tidak rusak hingga tahun 1930. Pada waktu itu, Hosti Kudus ditempatkan dalam sebuah tabernakel yang baru dibangun, yang terletak di belakang altar utama gereja. Karena alasan-alasan yang tak diketahui, Hosti-Hosti tersebut menjadi rusak dan Kristus dalam mukjizat tidak lagi hadir.




BORDEAUX, tahun 1822


Setelah berakhirnya Revolusi Perancis, terjadi pembaharuan semangat iman dan Bordeaux diberkati dengan lahirnya beberapa komunitas religius baru. Salah satu di antaranya adalah komunitas Keluarga Kudus dari Bordeaux, di mana mukjizat Ekaristi ini terjadi.

Imam yang memimpin Adorasi Sakramen Mahakudus menulis sebuah dokumen resmi yang menyatakan bahwa ketika mentahtakan Sakramen Mahakudus, ia melihat kepala, dada dan lengan Sang Juruselamat di tengah suatu lingkaran yang mengelilingi-Nya bagaikan suatu lukisan berbingkai, tetapi Ia tampak hidup. Moeder Superior juga menyatakan bahwa ia melihat Yesus, juga putera altar dan beberapa saksi lain. Berdasarkan laporan dan penelitian, Uskup Agung Bordeaux memaklumkan pengakuan Gereja. Paus Leo XII juga segera menegaskan mukjizat dan menetapkan Pesta Keluarga Kudus untuk mengenangnya.

Setiap tahun, di biara-biara Kongregasi Keluarga Kudus, diadakan perayaan menghormati mukjizat Ekaristi ini. Monstran yang dipergunakan pada hari terjadinya mukjizat senantiasa disimpan di rumah biara di Bordeaux.



BETANIA, tahun 1991

Semua Mukjizat Ekaristi yang lain terjadi beberapa ratus tahun yang silam. Tetapi, mukjizat yang terjadi dalam Perayaan Misa di Betania, Venezuela, terjadi pada pesta SP Maria Dikandung Tanpa Dosa pada tahun 1991. Sekeping Hosti yang telah dikonsekrir, yang adalah sungguh Daging Kristus, mulai memancarkan darah. Sesudahnya, sebuah tim medis memastikan bahwa cairan yang memancar dari Hosti Kudus adalah darah manusia. Uskup setempat memaklumkannya sebagai tanda transsubstansiasi dengan mengatakan, “Tuhan hendak menyatakan kepada kita bahwa iman kita akan Hosti yang telah dikonsekrir adalah benar.”

Banyak peristiwa-peristiwa menakjubkan lainnya terjadi di Betania, termasuk penampakan-penampakan Bunda Maria yang disaksikan oleh beberapa ribu orang, berbagai penyembuhan-penyembuhan baik jasmani maupun rohani, dan seorang mistikus bernama Maria Esperanza yang dianugerahi karunia stigmata, bilokasi, dan levitasi (= terangkat dan melayang di udara) saat berdoa. Bapa Uskup sendiri menyaksikan suatu fenomena adikodrati dan menulis sepucuk surat pastoral yang menyatakan bahwa setelah penelitian dengan seksama, ia memaklumkan penampakan-penampakan tersebut sebagai benar dan berasal dari kuasa ilahi.

Kristus dan Bunda Maria berusaha memberitahukan kepada segenap umat manusia bahwa kita perlu menyerahkan segala kepercayaan kita kepada Tuhan dan berkarya demi kerajaan-Nya, dan bukan demi ego kita, demi kebanggaan kita, dan demi kemuliaan kita sendiri. Kita adalah terang dunia dan karenanya biarlah sesama melihat kita sebagai terang yang bersinar cemerlang, sebab kita telah ditebus oleh Darah Yesus Kristus dan karenanya patutlah kita senantiasa memuliakan Allah di surga!


Sumber : Yesaya.indocell.net