Kamis, 24 November 2011

Tiada yang mustahil di hadapan Tuhan




Buah hati pada umumnya adalah karunia yang dinantikan dalam sebuah pernikahan sebagai bentuk keterbukaan kita akan adanya prokreasi, demikian pula halnya dengan kami.

Nama saya Bernadeta Tri Wulan Windri Hastuti dan suami saya Bernardus Aan Yunanto Prasetyo. Kami menikah pada tanggal 8 Juli 2006 di Gereja St. Theresia Jombor, Klaten. Sebelum menikah saya adalah seorang Protestan, sehingga belum terbiasa melibatkan peran Bunda Maria ataupun berdoa Rosario dalam kehidupan saya.

Tujuh bulan setelah pernikahan, kami sempat menjalani hubungan jarak jauh. Saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di Solo dan suami bekerja di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kerinduan untuk segera memiliki keluarga yang utuh, akhirnya mendorong saya melepaskan pekerjaan dan tinggal bersama suami di Kendari.

Empat bulan bersama atau satu tahun setelah pernikahan kami pada bulan Juli 2007 belum ada tanda-tanda kehadiran buah hati di tengah-tengah kami. Hal ini mendasari kami untuk berkonsultasi dengan dokter, terlebih saya pernah didiagnosa memiliki kista di indung telur sebelah kiri pada tahun 2005.

Atas rekomendasi beberapa teman, kami mendatangi salah satu dokter spesialis kandungan yang ternama di kota tersebut, dimana kami harus ekstra sabar menunggu antrian yang sangat panjang. Berdasarkan rekomendasi dokter atas keinginan kami untuk segera memiliki momongan, maka suami juga harus melakukan pemeriksaan terhadap kualitas spermanya. Kami melakukan pemeriksaan di laboratorium Prodia, Kendari.

Dua hari sebelum hasil pemeriksaan lab keluar, saya mendapatkan Firman Tuhan yang sepertinya ditujukan kepada saya pada misa Minggu pagi. Firman tersebut diambil dariKejadian 18 : 10 yang berbunyi demikian, ‘Dan FirmanNya : “Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” Dan Sara mendengarkan pada pintu kemah yang di belakang-Nya.’ Saya tidak tahu mengapa tetapi bagi saya Firman tersebut seperti sebuah janji Tuhan kepada saya, bahwa saya akan mempunyai keturunan, dan Firman itu selalu saya simpan dalam benak saya dengan penuh harapan.

Setelah mengambil hasil lab, kami kembali ke dokter untuk menyerahkan hasil pemeriksaan. Karena ditujukan ke dokter maka saya tidak berani membaca hasil secara keseluruhan (ternyata ada dua lembar). Saya hanya sekilas membaca kata “excellent”, sehingga ketika suami dengan raut wajah cemasnya bertanya tentang hasil tes tersebut, dengan ringan hati saya menjawab, “Bagus, tenang saja.”

Akhirnya giliran kamipun tiba. Tanpa rasa ragu saya serahkan hasil pemeriksaan suami. Tidak sampai satu menit berlalu tanpa basa-basi dokter tersebut mengatakan, “Kalau begini ya suamimu tidak bisa membuatmu hamil sebab ia tidak memiliki sperma.” Mendengar hal tersebut rasanya saya seperti tersengat ribuan lebah, panas hingga ingin membuat mata saya berair, tidak terbayang bagaimana hancurnya perasaan suami saya saat itu. Terlebih lagi kami harus menanggung tatapan -yang kami tidak tahu pasti artinya- dari dua pasien dan suster yang bersama-sama dengan kami di ruangan tersebut. Yang pasti rasanya kami ingin segera menghilang dari hadapan mereka.

Dokter kemudian membuatkan kami surat rujukan ke dokter spesialis bedah yang juga praktek di tempat yang sama, dan syukur pada Allah kami dapat diusahakan bertemu dengan dokter tersebut malam itu juga, setelah beliau selesai melakukan operasi di sebuah rumah sakit swasta yang dipimpinnya.

Dari pemeriksaan awal, dokter mendiagnosa suami saya menderita varicocele (pembesaran secara abnormal pada pembuluh darah vena di testis), yang menyebabkan suami saya mengalami Azoosperma (keadaan dimana sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ditemukan sel sperma). Dokter mengatakan masih ada kemungkinan positif apabila dilakukan pembedahan. Bertemu dengan dokter yang seiman, berkonsultasi dan mendapatkan penguatan, memberikan kami harapan. Setidaknya malam itu perasaan kami sedikit mendapat penghiburan setelah rasa shock yang baru saja kami alami. Meskipun solusi yang diberikan juga bukan hal yang mudah untuk kami jalani, setidaknya masih ada secercah pengharapan.

Sepanjang perjalanan pulang kami bergelut dan berusaha menahan perasaan kami masing-masing. Perasaan saya sangat hampa malam itu. Empat bulan di tempat baru, saya belum banyak memiliki relasi dan tidak ada aktivitas pekerjaan, jujur hal tersebut membuat saya stress. Hanya harapan untuk segera menimang buah hati yang menguatkan saya. Tetapi keinginan itu pun rasanya melayang menjauh dari kehidupan kami. Sesampainya di rumah, kami berdua menumpahkan perasaan yang berusaha kami tahan dan malam itu kami menangis untuk mengurangi beban yang terasa berat buat kami.

Atas seijin suami, saya mensharingkan masalah tersebut dengan kakak tertua saya. Pesan yang saya ingat dari kakak saya adalah, ”Kamu harus tegar dan bisa terus menguatkan suamimu”, dan kakak saya berjanji untuk mencarikan dokter terbaik untuk konsultasi saat kami pulang ke Solo.

Hari demi hari kami coba jalani sewajar mungkin, terlebih kami tahu masih ada harapan secara medis bagi kami. Di balik itu semua Tuhan memberikan berkat yang lain bagi kami. Bulan Agustus saya bersama seorang sahabat baru saya bernama Selfi membuka Biro Psikologi. Selain itu saya mendapat kesempatan untuk membawakan rubrik konsultasi di sebuah radio swasta terbesar di kota Kendari dan kesempatan mengajar di sebuah akademi kebidanan. Berkat beruntun tersebut sangat saya syukuri, terlebih dua bulan kemudian saya juga diterima di sebuah perusahaan swasta untuk posisi HRD. Kesibukan yang Tuhan anugerahkan tersebut membuat saya tidak terlarut dalam masalah yang kami hadapi.

Pada waktu itu saya juga sempat diperkenalkan Selfi dengan Frater Banin Cornelis. Entah mengapa pada pertemuan pertama tersebut ada dorongan yang membuat saya ingin membagikan beban yang saya alami. Saya mendapat penguatan, saat Frater bersharing pernah membantu dalam doanya, untuk pasangan yang juga belum memiliki keturunan, dan karena kemurahan Tuhan merekapun dikaruniai buah hati. Saya tahu sejak saat itu Frater Cornel (panggilan akrab kami kepadanya) akan selalu membawa kami dalam doanya.

Bulan November 2007 kami berencana pulang ke Solo. Kakak saya berpesan agar kami mencari surat rujukan atau surat keterangan dari dokter yang memeriksa kondisi awal suami saya. Sebenarnya hal ini bukan hal yang mudah untuk kami lakukan, karena dokter yang memeriksa suami saya sudah menawarkan untuk menangani kondisi suami saya. Kami khawatir bila kami terkesan tidak percaya terhadap kemampuan beliau.

Akhirnya saya menghubungi ponsel dokter tersebut dan mengutarakan niat kami. Di luar dugaan kami ternyata beliau bersedia ditemui keesokan paginya sebelum beliau melakukan operasi. Seperti pasien yang lain kami mendaftar dan menunggu giliran karena kebetulan dokter juga belum datang. Akhirnya kami bisa bertemu dengan dokter yang dimaksud. Di sela kesibukan, beliau masih bersedia menemui kami dan memberikan surat rujukan yang kami butuhkan. Sembari mengantar kami keluar ruangannya, beliau berpesan pada suster yang mendampingi kami agar kami tidak dipungut biaya apapun. Bukan nilai rupiah yang kami lihat namun kemurahan Tuhan yang membesarkan hati kami.

Bulan November 2007 kami pulang ke Solo. Pada waktu itu menjelang libur Lebaran. Kami langsung ke Rumah Sakit Dr. Oen, Solo, dan bertemu dengan dokter andrologi. Suami saya menjalani serangkaian pemeriksaan dari awal, analisis sperma di Lab Prodia Solo, serta menjalani rontgen di RS. Dr. Oen. Dari hasil analisis sperma, tetap dinyatakan suami mengalami Azoosperma dan dari hasil rontgen terlihat adanya varicocele dan spermatocele dextra. Setelah berkonsultasi kembali dengan dokter yang bersangkutan, dokter malah menyarankan kami adopsi saja kalau ingin mempunyai anak. Jawaban yang sungguh menyesakkan meskipun dikatakan dengan lebih halus.

Beberapa bulan yang lalu kami masih berharap ada peluang untuk menimang bayi, tapi kali ini rasanya semua harapan itu pupus sudah. Saya selalu sedih kalau mengingat wajah ayah saya, saya cemas kalau beliau sedih memikirkan kondisi kami. Tidak terasa air mata saya menetes saat kakak kedua saya menanyakan kondisi kami dan saya menjawab “Aku tidak akan punya anak.” Dan saya tahu dia berusaha menguatkan saya dengan kata-kata penghiburannya.



Rasanya kami ingin segera pulang ke Kendari saat itu, rasanya malas sekali datang ke pertemuan keluarga dan bertemu dengan kerabat yang sudah pasti akan menanyakan pertanyaan klise tentang anak. Setelah selesai masa liburan, kami kembali ke Kendari menyibukkan diri dengan segala rutinitas.

Belajar menerima kondisi keluarga minus anak dan mencoba melihat dari kacamata positif adalah pergumulan cukup berat yang kami lalui dengan jatuh bangun. Bilamana salah satu dari kami jatuh, maka yang lain akan menguatkan. Tidak jarang kami menangis bersama, namun kami akhiri dengan obrolan yang saling menguatkan tentang rancangan Tuhan dalam hidup kami. Rasanya seperti pemazmur yang bergumul dalam kesusahan, jiwa kami berseru kepada Tuhan, “Kasihanilah aku Tuhan, sebab aku merana; sembuhkanlah aku, Tuhan, sebab tulang-tulangku gemetar, dan jiwakupun sangat terkejut; tetapi Engkau Tuhan, berapa lama lagi? (Mazmur 6 : 3-4). Namun sekalipun sedih, kami memilih untuk tetap percaya kepada belas kasih dan penyelenggaraan-Nya, kami tetap menaruh harapan di dalam doa-doa kami, karena kami tahu Tuhan tidak pernah meninggalkan kami. Ia adalah setia dan pemurah. Karena Allah telah berfirman, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau (Ibrani 13 : 5b).

Tidak ada yang mengetahui kondisi kami, selain keluarga tentunya. Syukur kepada Tuhan, kami memiliki rasa kasih yang besar di antara kami, yang membuat kami tetap kompak dan mesra. Mungkin itu juga disebabkan oleh perasaan saling memiliki yang cukup kuat di antara kami, dan kebesaran kasih Allah Bapa yang selalu memelihara kami.

Bulan Mei 2009 dengan kehendak Tuhan, suami saya mendapat tawaran untuk pindah lokasi kerja di Kediri, Jawa Timur. Kami pun pulang ke Jawa. Untuk sementara sambil menunggu suami menemukan tempat tinggal, saya tinggal di Klaten dan menikmati liburan di Klaten, Jawa Tengah, bersama orang tua atau terkadang tinggal dengan mertua. Pada pertengahan bulan Juni 2009 saya menyusul suami. Sebelum rumah yang disediakan kantor siap, selama 1,5 bulan kami tinggal di kos keluarga.

Suatu hari, seingat saya hari itu hari Sabtu, suami saya pulang lebih awal. Sehabis makan siang, seperti biasa kami bercanda dan ngobrol di tempat tidur. Saya terkejut karena tiba-tiba suami saya menangis. Sempat saya kira dia sedang bercanda, tapi ternyata dia sungguh-sungguh menangis. Rasanya saya tidak pernah melihat dia sesedih itu. Ketika agak reda saya bertanya apa yang membuat dia begitu sedih. Suami saya kemudian bercerita bahwa dua sahabatnya mengirimkan MMS foto anak-anak mereka dalam waktu yang hampir bersamaan dan MMS tersebut dikirim oleh dua temannya itu dengan tidak sengaja. Hal itu sangat membuat dia terluka mengingat bahwa kami tidak dapat memiliki momongan.

Ibu Subandi, induk semang kami sangat baik dan perhatian. Pernah dia sampaikan bahwa, ”Jangan dulu mengadopsi anak, karena nanti mbak Wulan juga akan diberikan anak sendiri,“ demikian kata beliau saat saya sampaikan rencana kami. Pernah ada kejadian ketika saya sedang persiapkan kado untuk kelahiran anak dari teman kami di Kendari, cucu ibu kos berkata, “Kenapa pilih-pilih kado, Tante Wulan mau punya ade ya?” Saya menjawab, ”Iya, makanya didoakan ya.” Wah, keponakan ibu kos yang bernama Taura tersebut senang sekali. Dia mengikuti saya ke kamar dan berdoa keras-keras di atas tempat tidur saya,” Ya Allah, lindungilah Tante Wulan dan ade bayi di perutnya, semoga sehat.” Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Sewaktu hal tersebut saya ceritakan kepada suami saya, dia mengatakan, ”Kau ini tega sekali membohongi anak kecil.”

Tanggal 8 Juli 2009 adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke-tiga. Kami lalui dengan biasa-biasa saja. Hanya pada tanggal 12 Juli saya meminta untuk berziarah ke Gua Maria Poh Sarang. Kami berangkat jam tujuh pagi pada hari Minggu itu dalam cuaca yang cerah. Kami sampai di Gua Maria Poh Sarang jam 7.30 dan kami lihat beberapa umat telah berada di sana. Tanpa menunggu lama, kami telah berdiri di depan gua. Secara mengejutkan pada saat kami tengah berdoa, tiba-tiba terjadi gerimis. Seingat saya ada juga beberapa orang yang bersama-sama dengan kami yang kemudian mencari tempat berteduh. Namun saat itu kami memilih untuk tetap tinggal dan menganggap hujan tersebut adalah berkat dari Tuhan. Tepat selesai berdoa, gerimispun reda dan peristiwa ini benar adanya. Kamipun melanjutkan untuk berdoa Rosario di salah satu bangunan Rosario pada peristiwa gembira. Jika Anda pergi ke Gua Maria Poh Sarang, di sana ada 3 bangunan Rosario yang terdiri dari bangunan untuk peristiwa gembira, bangunan untuk peristiwa sedih, dan bangunan untuk peristiwa mulia. Di tiap bangunan terdapat gambar-gambar indah dari lima peristiwa perenungan doa Rosario.

Pada waktu yang bersamaan di hari itu ternyata ada acara Doa Novena kepada Bunda Maria dari Lourdes dan Misa Kudus. Dengan hati yang ragu-ragu akhirnya kami bergabung. Di tengah misa tersebut ada bagian dimana kita dapat menuliskan kerinduan akan permohonan maupun beban-beban kita di secarik kertas untuk didoakan. Pada saat itu kami tidak membawa kertas, namun beruntung sepasang suami isteri di samping saya memberikan kertas kepada kami. Kami menuliskan permohonan kami yaitu memohon untuk diberikan kekuatan dan iman untuk menerima semua kondisi bilamana kami tidak dianugerahi momongan, dan kerinduan untuk memperoleh kesembuhan agar kami diberikan kesempatan untuk memiliki momongan.

Seusai kami menuliskan permohonan, ternyata sudah ada orang yang berdiri di depan saya, menawarkan untuk mengantarkan kertas doa saya ke altar. Hal ini kami rasakan sebagai bentuk pertolongan dari Tuhan karena ini merupakan pengalaman pertama kami dan Tuhan memberikan banyak kemudahan lewat orang-orang di sekitar kami…..Allelluia, terpujilah Tuhan.

Dua minggu sesudahnya, atau tanggal 30 Juli 2009, saya seperti mendapat dorongan untuk melakukan doa puasa selama 7 hari setelah tanpa sengaja saya menemukan buku saku doa Rosario Pembebasan Yesus Kristus yang dibeli suami saya sewaktu di Kendari.

Secara manusiawi saya terkadang masih mencoba bersandar pada kemungkinan secara medis dan kekuatan manusia (misalkan lewat program bayi tabung). Saya mengikuti milis bayi tabung sehingga saya sering mendapatkan berita perkembangan terbaru dalam dunia kedokteran mengenai bayi tabung. Saya masih ingat waktu itu saya mengecek email terakhir tentang bayi tabung pada tanggal 5 Agustus 2009. Namun demikian saya menyadari kemungkinan itu menjadi harapan yang langka dengan penghasilan sebagai karyawan seperti kami.

Suatu hari di awal bulan Agustus ibu kos saya berkata, “Mbak Wulan apa hamil ya, kok kayaknya berbeda.” Namun saya bilang tidak, karena tgl 14 Juli saya baru saja menstruasi. Beberapa hari berikutnya, pembantu ibu kos saya mengatakan, ”Mbak Wulan kemarin sayarasani (dijadikan bahan perbincangan) dengan ibu, kok kayaknya aras-arasen (kurang sehat), apa sudah isi?” Saya hanya tertawa sambil bilang, “Amin…”

Pada tanggal 4 Agustus 2009, sahabat saya Monica di Jakarta memberitahu bahwa saat itu dia tengah hamil satu bulan dan dia menyampaikan akan membantu dalam doa agar kami bisa hamil bersama-sama.

Akhirnya rumah dinas kami siap dan pada tanggal 8 Agustus kami pun pindah di rumah yang disediakan kantor. Sebelumnya saya meminta seekor anak anjing yang bisa saya jadikan teman di rumah selama suami bekerja. Anak anjing itu saya bawa kemanapun saya pergi dengan naik motor dan saya masukkan ke dalam tas. Dalam hati saya sempat tertawa sendiri, karena dimana-mana orang mengajak anaknya, sedangkan saya mengajak anjing saya.

Pada tanggal 13 Agustus 2009 saya mendapat undangan interview tahap terakhir dari perusahaan yang saya lamar. Interview tersebut diadakan dengan pemilik dan konsultan perusahaan yang saya lamar. Dalam sesi wawancara, konsultan tersebut bertanya pada saya, “Apa hal yang mustahil Anda peroleh dalam hidup Anda?” dan saya menjawab, “Memiliki momongan, namun saya percaya jika Tuhan berkehendak, maka tidak ada yang mustahil dihadapan-Nya.” Akhirnya saya diterima bekerja dan sesuai kesepakatan, saya akan mulai masuk bekerja pada tanggal 1 September 2009. Sebelumnya saya akan menandatangani kontrak bekerja pada tanggal 19 Agustus 2009.

Saya terbangun jam tiga dini hari pada tanggal 14 Agustus 2009, dan saat itu sempat terlintas dalam angan saya, yaitu seandainya saya hamil, maka saya akan memberikan kesaksian dengan memasang iklan syukur di tujuh media cetak. Perasaan tersebut muncul secara tiba-tiba, mungkin karena menstruasi saya bulan itu tidak terlalu lancar dan tidak biasanya mundur sampai dua hari dan hanya flek-flek saja, atau mungkin dipengaruhi banyaknya pekerjaan rumah.

Sesuai rencana, tanggal 15 Agustus 2009 kami pulang ke Klaten dengan naik kendaraan roda doa. Selain untuk menghabiskan libur tanggal 17 Agustus, kepulangan itu sekalian untuk mengabarkan bahwa saya telah diterima bekerja. Suami juga sekalian ingin menghapalkan jalan jalur Kediri – Klaten. Sebelum berangkat saya sempat bertanya kepada pemilik pet shop di mana saya menitipkan anjing saya, “Apakah aman kalau orang hamil merawat anjing?” Pemilik toko tersebut menyampaikan hal tersebut aman-aman saja karena resiko virus tokso lebih banyak terdapat pada kucing. Sore itu kami langsung berangkat dengan rute memutar karena sekalian hendak melihat lokasi tempat saya bekerja nantinya. Kami berangkat pukul empat sore dan sampai Klaten pukul sebelas malam.

Capek, pastilah, plus kena marah orangtua dan kakak yang mengetahui kami pulang dengan naik kendaraan roda dua. Paginya kami berziarah ke makam ibu saya. Saya merasa badan saya tidak enak, selain karena kecapean juga sebenarnya saya sudah jadwalnya datang bulan tanggal 12 Agustus kemarin, tetapi sampai dengan tanggal 16 saya hanya mengalami flek-flek saja. Sore harinya kami tidur di tempat mertua saya. Dalam perjalanan ke rumah mertua, saya dan suami mampir ke apotik untuk membeli tes pendeteksi kehamilan. Sesuatu yang sebelumnya suami saya tidak pernah mengijinkan untuk saya lakukan (karena mungkin dia takut kecewa). Jauh di lubuk hati, rupanya kami menyadari bahwa harapan yang telah kami sampaikan kepada Allah Bapa dengan perantaraan Tuhan Yesus dan Bunda Maria dalam penyerahan diri yang penuh, telah menguatkan hati kami untuk tidak lagi merasakan takut untuk kecewa.

Malamnya, saya mencoba tes urin saya sendirian dan …..hasilnya di luar dugaan, saya HAMIL……..dengan perasaan tidak percaya dan kaget saya memberitahu suami yang juga merasakan hal yang sama. Dalam kebingungan dan kebahagiaan, kami kembali membeli tes pendeteksi kehamilan. Kemudian kami memberitahu ibu mertua saya sambil mensharingkan doa kami. Belum habis rasa kebahagiaan kami, tiba- tiba saya rasakan ada darah yg keluar dan seketika kebahagiaan kami berubah menjadi kecemasan. Kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat dengan harapan yang telah hilang. Saya ingat saat pergi tidur, suami saya mencium kening saya dan bergumam, “Kita akan berusaha lagi.”

Paginya tanpa sepengetahuan suami, saya mencoba mengetes kembali urin saya dengan testpack yang kami beli semalam. Dan hasilnya tetap positif. Puji Tuhan, terimakasih Tuhan…..lalu dengan hati- hati saya memberitahu suami saya. Kamipun kemudian bertanya kepada teman kami yang juga seorang dokter, yang mengetahui kondisi kami sejak awal. Dia sampaikan bahwa kehamilan palsu atau kehamilan anggur juga menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang benar-benar hamil dan juga terdeteksi dengan test pack seperti orang hamil pula. Kamipun sedikit cemas dengan informasi yang kami terima, maka pagi itu kami putuskan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan.

Dengan harap-harap cemas, kami menanti diagnosa dari dokter, dan kami merasa sungguh sangat lega dan bahagia tidak terkira karena dari hasil USG, saya benar-benar dinyatakan hamil dan janin saya dalam keadaan sehat. Hanya saja, saya harus banyak beristirahat dan diberikan obat penguat….Puji Tuhan Raja Semesta Alam. Sungguh, harapan kami di dalam Tuhan tidak sia-sia. Tuhan sungguh berbelaskasih dan memperhatikan kerinduan hati kami melalui doa-doa yang kami panjatkan dengan segenap kerendahan hati dan penyerahan.

Akhirnya diputuskan saya tetap tinggal di Klaten hingga kondisi saya membaik, sedangkan suami kembali ke Kediri. Dua hari kemudian saya bertemu Monica yang pada waktu itu juga sedang liburan di Solo. Mungkin karena kelelahan, sore itu saya mengeluarkan darah segar. Karena khawatir akhirnya saya kembali dibawa ke rumah sakit dan menjalani opname selama lima hari. Baru satu hari di rumah, saya mengeluarkan flek-flek lagi. Akhirnya saya putuskan berganti dokter di Solo. Setelah menerima masukan dari dokter baru, saya lebih bisa bersikap positif terhadap kehamilan saya dan hal tersebut adalah yang seharusnya saya lakukan sejak awal kehamilan.

Tiga hari kemudian saya memilih untuk kembali ke Kediri. Saya berpikir bahwa dekat dengan suami akan lebih menguatkan kondisi saya. Saya menjalani bed rest selama hampir dua bulan. Ketika kehamilan memasuki usia empat bulan, kista saya semakin membesar hingga berukuran 7,5 cm. Saat itu dokter tempat kami memeriksakan diri mengatakan, untuk menghindari pendarahan, kista perlu dikeluarkan ketika bayi menginjak usia lima atau enam bulan, dengan resiko abortus. Saya berpikir bagaimana mungkin saya akan melakukan itu, sehingga akhirnya kami mencari dokter kandungan yang lain.

Saat usia kandungan memasuki usia tujuh bulan, saya dinyatakan mengalami plasenta previapenuh, tetapi masih dalam tahap evaluasi.

Kehamilan menginjak usia delapan bulan ketika tiba-tiba saya terbangun dari istirahat siang dan merasa ingin buang air kecil. Saat saya kembali dan duduk, saya merasa ada air yang terus keluar. Saat saya berdiri saya rasakan air keluar semakin banyak tanpa bisa saya tahan. Akhirnya saya kembali ke ranjang dan menelpon suami (saat itu saya di rumah sendirian). Suami saya segera membawa saya ke rumah sakit bersalin. Dokter menyuruh saya untuk opname. Sayapun opname sehari semalam untuk beristirahat dan untuk dievaluasi.

Akhirnya setelah melewati masa kehamilan dengan perlindungan Tuhan dan atas kehendakNya, pada tanggal 20 April 2010, putri kami lahir dengan selamat melalui operasi caesar. Puteri kami diberi nama oleh ayahnya dengan nama “Valeria Adonia Eklesiana Prasetyo”. Saya bertanya pada suami saya apakah makna nama yang ia buat. Suami saya menjawab, makna nama itu adalah “Gereja Kristus yang cantik dan kuat”………PUJI TUHAN. Bersama nabi Yesaya seakan hati kami berseru, “Ya Tuhan, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur bagi nama-Mu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan rancangan-Mu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu” (Yesaya 25 : 1)

Saat saya menyelesaikan kesaksian ini, puteri kami yang kami panggil dengan nama Kesia sudah berusia 9 bulan dan puji Tuhan, ia dibaptis pada tanggal 10 Oktober 2010 dengan nama baptis “Valeria” yang berarti ‘kuat.’ Dia tumbuh sebagai anak yang lincah, murah senyum, dan cerdas. Sungguh, ia adalah anugerah terindah dalam hidup kami…..Terpujilah Kristus.

Melihat kembali ke belakang, sungguh hanya rasa syukur yang meluap dan perasaan kagum mendalam yang kami rasakan terhadap kemurahan-Nya. Hal itu membuat kami sadar bahwa kebesaran Tuhan tidak dapat dibatasi oleh kemampuan manusia, dan itu nyata sebagai suatu kesaksian, dengan hadirnya puteri kami, Valeria Adonia Eklesiana Prasetyo. Hingga salah satu sahabat kami yang berprofesi sebagai dokter menyebut anak kami “miracle baby” dan Frater Cornel yang mengetahui pergumulan kami sejak awal menyebutnya, “anugerah dan buah dari derita, kesabaran, dan kepasrahan kepada Allah.”

Terlantun Mazmur yang indah yang dibisikkan oleh suami saya dengan nyanyian ketika kelahiran puteri kami, ”Ya Tuhan….semoga putera-putera kami tumbuh kuat seperti tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya dan putri-putri kami menjadi seperti batu pualam yang menjadi tiang-tiang penjuru yang dipahat untuk bangunan istana.” (Mazmur 144 : 12).

Dan inilah ucapan syukur kami yang tercetak di tujuh media cetak :

“Syukur kepada Allah atas kehadiran buah hati kami melalui Doa Rosario Pembebasan Yesus Kristus dan Doa Novena Bunda Maria dari Lourdes. Kami yang terberkati – Aan & Wulan.”

Juga inilah doa yang mengantar kepada Yesus Kristus atas permohonan kami untuk mendapatkan keturunan bersama dengan bantuan doa Bunda Maria :

“Jika Yesus membebaskan kami, kami akan sungguh-sungguh bebas. Yesus kasihanilah kami, Yesus sembuhkanlah kami, Yesus selamatkanlah kami, Yesus bebaskanlah kami……”

“Salam ya Ratu, Bunda yang berbelas kasih, hidup, hiburan, dan harapan kami. Turunan hawa merana berkeluh kesah, yang kini memohon seraya meratap di dalam lembah derita.Berkenanlah, pembicara kami, dengan wajah yang menampakkan kasihan menolong kami, dan Yesus yang terpuji, buah kandunganmu, sudi pada saat ajal tunjukkan.

O…Kenya, pemurah, yang manis dan penuh kasih.”

Akhirnya kami tutup kesaksian ini dengan Firman Kristus pada Markus 9:23b “Segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.”

Terpujilah Kristus.

Salam saya,
Bernadeta Tri Wulan Windri Hastuti


Sumber : Katolisitas.org


Tidak ada komentar: